Erasmus+ iHiLEAD Tingkatkan Skill Manajerial SDM Perguruan Tinggi
Pergelaran Erasmus+ Indonesian Higher Education Leadership (iHiLEAD) di Universitas Islam Indonesia (UII) ditutup pada Jumat (15/07). Hari kelima menjadi sesi pamungkas dengan pembicara Dr.-Ing. Ir. Ilya Fadjar Maharika, MA., IAI. selaku Project Leader Erasmus+ iHiLead UII.
Ia menyatakan bahwa konteks penyelenggaraan training ada 3 fase gambaran umum. Salah satunya yaitu fase pertama, disebut dengan fase parenting. Pada fase ini bisa dikatakan sebagai fase yang belum memiliki implementasi lepas. “Ada 6 modul yang harus digarap, yang mana memuat development skill dan managerial skill,” ujarnya.
Fase kedua akan diselenggarakan di Bandung, 23-26 Agustus mendatang. Ilya Fadjar Maharika mengharapkan adanya pertemuan yang bersifat informal menuju fase ini. Kelompok kerja harus mampu memahami secara detail problematika serta potensial yang akan diejawantahkan dalam pembuatan proposal.
Menurutnya, kualitas proposal juga akan direview oleh tim internasional yang diselenggarakan di Spanyol. Benefitnya, semua peserta mendapatkan kritik dan masukan secara internasional. Ini merupakan gagasan dan ekspektasi dalam rangka memastikan untuk bisa mengembangkan potensi ke arah perubahan lebih baik.
Fase terakhir, semua peserta akan dipaparkan dengan berbagai macam problematika yang kemudian disusul dengan pembuatan proposal. Proposal untuk penyelesaian problem hidup yang berkontribusi pada solusi.
Selama 4 hari, peserta diajak memperkuat skill dan pengetahuan terkait dengan diri sendiri, diharapkan semua peserta sudah mantap dengan potensi yang dimiliki. Ditambah lagi, pada proses penyelesaian project, semua peserta akan mendapatkan banyak asupan managerial skill.
Beberapa perguruan tinggi di Indonesia dalam acara ini turut menyatakan masing-masing problematikanya. Seperti halnya yang disampaikan Mohammad Muqoffa selaku anggota APTARI (Asosiasi Perguruan Tinggi Arsitektur Indonesia). Ia menyatakan rencana tindak lanjut untuk APTARI, menyusun sistem atau model akreditasi program studi Arsitektur yang diakui secara global.
Ia mengharapkan agar ada semacam asisten teknis yang bisa menyusun sistem dan model akreditasi yang dibutuhkan. “Komponen ini perlu dibahas untuk kemudian ditetapkan 1 standar yang memadai.” ungkapnya.
Selanjutnya, Ilya Fadjar Maharika menjelaskan kegiatan yang bersifat pengembangan kelompok. Problematika yang mempunyai potensi untuk diangkat sebagai isu internasional perlu didetailkan. Hal ini sejalan dengan problematika setiap universitas di Indonesia.
Rektor UII, juga turut berkomitmen untuk mengembangkan kemitraan atau kewirausahaan sebagaimana pada lini Simpul Tumbuh. Oleh karena itu, setiap perguruan tinggi perlu mengembangkan struktural dan operasional yang bersifat menetap. “Mencoba membuat inisiatif baru terkait bidang tertentu dalam proses managerial skill.” tutup Ilya Fadjar Maharika. (LMF/ESP)