Embun Kalimasada YBW UII Rilis Buku Islam Indonesia Edisi ke-5

Embun Kalimasada Yayasan Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (YBW UII) kembali merilis buku Islam Indonesia 2024 yang digelar pada Senin (20/5) di Auditorium Gedung YBW UII Jl. Cik Di Tiro No.1 Terban. Buku Islam Indonesia edisi kelima ini ditulis oleh beberapa akademisi membahas persoalan demokrasi yang masih hangat dibicarakan selepas tuntasnya pemilihan umum presiden pada Februari lalu.

Kegiatan ini dikemas dengan diskusi panel menghadirkan panelis yang mumpuni di bidangnya yakni Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, S.IP., M.A (Dosen DPP FISIPOL UGM), Sylvia Yazid, S.I.P., M.PPM., Ph.D. (Dosen Prodi HI FISIP UNPAR), dan Prof. Dr. rer. Soc. Masduki, S.Ag., M.Si (Guru Besar Ilmu Komunikasi FPSB UII sekaligus penanggap ahli untuk tulisan Islam Indonesia 2024).

Ketua Pemberdayaan Masyarakat YBW UII, Drs. Aden Wijdan Syarif Zaidan, M.Si, dalam sambutannya mengapresiasi Hadza Min Fadli Rabbiy, S.I.P., M. Sc. sebagai Direktur Embun Kalimasada UII bersama kawan-kawan narasumber yang dapat secara konsisten terus menghidupkan semangat Embun Kalimasada.

“Mudah-mudahan pusat studi, kemudian juga lembaga kebudayaan Embun Kalimasada ini terus dapat mempromosikan tentang demokrasi yang sesungguhnya. Bukan hanya demokrasi prosedural tapi juga substansial,” tutur Aden Wijdan.

Lebih lanjut, Aden Wijdan mengapresiasi kegiatan diskusi panel. Seperti pemilihan tema yang masih hangat untuk dibahas dan dikritisi. Ia berharap dari proses diskusi memberikan suatu catatan penting bagi jalannya demokrasi, dan menjadi pelajaran yang sangat berharga ke depan.

Alfath Bagus Panuntun memulai diskusi sesi pertama dengan memantik tinjauan demokrasi di Indonesia. “Kita bisa membayangkan bahwa demokrasi yang kita perjuangkan kurang lebih 25 tahun terakhir ini bisa diporak-porandakan hanya dalam waktu singkat sehingga untuk membuat demokrasi melangkah lebih jauh dan bergerak ke arah yang lebih mapan kita harus meningkatkan level kita dalam hal ini UU pemilu harus bisa ditingkatkan kualitasnya agar lebih substantif. Upaya yang bisa dilakukan dengan tuntaskan amanat reformasi, memberi ruang lebih besar bagi tumbuhnya media dan komunitas pendidikan politik, dan perkuat suara bukan kebisingan,” papar Alfath.

Lebih lagi, demokrasi yang dicanang-canangkan oleh Bangsa Indonesia terancam, berkaca dari buku How Democracies Die, Democracies Under Siege, dan Defending Democratic Norms serta menghadapi begitu banyak tantangan sehingga perlu mendapat perhatian khusus yakni hilangnya kompas moral, turunnya indeks demokrasi Indonesia dan dunia, hyperindividualism, polarisasi, echo chambers hingga hoaks dan misinformasi menjadi contoh-contohnya.

“Ada kekuasaan yang gamang terhadap nilai-nilai dasar republik yang menjadikannya sebatas pengabdi pasar, bagi-bagi kuasa, kebal terhadap kontrol publik, dan melemahkan kekuatan opisisi yang semua hal ini sedang kita alami karena kita sedang kehilangan kompas moral. Upaya menegakkan kembali kompas moral perlu dilakukan dengan mempelajari sejarah pendiri bangsa yang kaya akan integritas, mendorong penegakan hukum dan kontrol publik, mengawal media sebagai the oxygen of publicity, menjaga nalar publik, dan konsolidasi sosial politik dari akademisi hingga rakyat akar rumput,” tambah Alfath.

Selanjutnya, Sylviana Yazid memaparkan dinamika secara global dan peran pihak non pemerintah dalam diplomasi luar negeri. Dua di antaranya ialah permasalahan Rohingya di level ASEAN dan Palestina dalam skala global.

“Karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki pemerintah, maka memerlukan peran aktor lain. Disini, tugas saya adalah menunjukkan  aktor-aktor ini bisa melakukan apa. Aktor ini adalah masyarakat sipil. Peran masyarakat sipil dalam diplomasi bisa dilakukan dengan mengadvokasi kebijakan luar negeri contohnya dengan membantu diplomasi dan mendukung posisi Indonesia di PBB terkait konflik yang sedang terjadi dan penyelesaiannya,” jelasnya.

“Sedangkan untuk dalam negeri bisa dilakukan misalnya dengan memperkuat kebijakan dengan penjagaan kondisi. Kedua dengan kampanye melalui media dengan mengedukasi masyarakat terkait jangkauan konflik tertentu. Ketiga dengan advokasi untuk solidaritas bagi korban yang terdampak konflik tertentu,” terang Sylviana

Sylviana menyimpulkan masyarakat sipil bukan sebagai aktor utama tetapi masih banyak aktor yang dapat menghubungkan masyarakat dan pemerintah. “Upaya-upaya yang dilakukan masyarakat sipil seperti yang sudah disebutkan sebelumnya itu penting karena sebagian besar masyarakat sipil dapat melakukan apa yang tidak bisa dilakukan pemerintah, lebih fleksibel, dan mempunyai kredibilitas untuk perbaikan disinformasi. Namun, hal ini tidak mematahkan realitas bahwa masyarakat sipil masih bukan antor utama dalam diplomasi luar negeri sehingga butuh penyambung untuk menghubungkan upaya masyarakat sipil dengan upaya pemerintah,” jelasnya.

Senada, Prof. Masduki mengapresiasi terbitnya buku Islam Indonesia edisi ke-5 dan menanggapi terkait keseluruhan materi yang sudah dipaparkan oleh panelis. “Ini penting sekali karena dalam rangka yang disebut kerja-kerja teknokratik dari perguruan tinggi, yaitu produksi pengetahuan ya. Di perguruan tinggi itu dibayangkan seperti corporate, berproduksi, salah satu indikatornya adalah publikasi,” tuturnya.

Secara garis besar, lanjut Prof. Masduki,  civil Islam menggambarkan potret dari sedikit banyak diidealkan tentang gerakan oposisi politik yang tergambar dalam dua ormas besar Islam yang digambarkan masih menjadi kelompok-kelompok kritis yang oposan dalam batas-batas tertentu yang sekarang harus kita lihat ulang karena semakin menguatkan pragmatisme.

“Organisasi keagamaan seharusnya memposisikan diri terhadap transisi-transisi kekuasaan jangan terlampau pragmatis. Ini juga menggambarkan secara makro, masyarakat sipil Islam sedang mengalami kemunduran sehingga tidak berpikir jangka panjang tentang bagaimana sebetulnya dunia melihat islam di Indonesia sebagai kekuatan masyarakat sipil global,” tandas Prof. Masduki. (AHR/RS)