Ekonomi Politik di Masa New Normal
Setelah lima bulan lebih menghadapi wabah Covid-19, beberapa negara mengambil kebijakan new normal. Tidak hanya sebagai bentuk adaptasi, tapi juga bentuk upaya negara yang memprioritaskan agar roda perekonomian tetap berjalan. Gagasan inilah menjadi sajian utama dalam Ngalir Live Talk: Ekonomi Politik New Normal: Antara Ekonomi dan Kesehatan Publik yang diadakan oleh Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Islam Indonesia (UII) pada Sabtu, (11/7) secara daring.
New normal adalah kondisi dimana transmisi covid mulai terkendali, namun tetap ada protokol yang harus dipatuhi, jelas Hasbi Aswar S.IP., M.A., dosen HI UII mengawali sesi. Di sisi lain, Rizki Dian Nursita, dosen HI UII, berpendapat new normal sebagai bentuk adaptasi dari kebiasan dan pola-pola lama. “Dengan menerapkan new normal, ekonomi bisa berjalan dengan tetap tertib menerapkan protokol yang ada. Selain itu, ini bisa menjadi dorongan psikologis yang memberikan rasa tenang karena manusia cenderung memiliki rasa takut atas apa yang belum diketahui,” tutur Rizki.
Ketua Program Studi HI UII, Hangga Fathana, S.IP., B.Int.St., M.A., berharap negara tidak melihat dengan kacamata mana yang lebih dulu. Karena negara memiliki struktur yang lebih canggih. Ia hadir sebagai pelindung dan baik ekonomi dan kesehatan publik, keduanya harus diselamatkan.
Sampai saat ini banyak negara masih meraba-raba bagaimana implementasi new normal yang ideal, ungkap Enggar Furi Herdianto, S.I.P., M.A., selaku Sekretaris Program Studi HI UII. Bahkan kisah sukses New Zealand yang tegas melakukan lockdown segera ketika ada lima orang terbukti positif, belum tentu dapat diimplementasikan di Indonesia. Korea Selatan dan Singapura menerapkan 3T. Test, tracing, treatment.
Selain itu Enggar menyampaikan bahwa Korea Selatan melegalkan digital tracing melalui CCTV dan ponsel genggam, menginformasikan apakah ada orang yang positif di area tertentu. Kebijakan ini terkenal kontroversial karena dirasa melangkahi ranah privasi. Meskipun demikian, terbukti Februari lalu Korea Selatan berhasil menurunkan penyebaran dan melandaikan kurva, namun tercatat setelah pelonggaran social distancing pada bulan Mei, Korea Selatan (Sumber: CNBC) melaporkan 51 kasus baru pada Juni lalu.
Sedangkan di belahan dunia lain seperti negara tetangga, Hangga Fathana melihat sempat ada sikap skeptis yang dilimpahkan untuk negara Australia. Pasalnya Januari lalu mereka mengalami kebakaran hutan yang luar biasa besar, bahkan tercatat menjadi yang terburuk dalam 10 tahun terakhir. “Sempat timbul polemik hebat yang disebabkan perdana menteri yang berlibur ke Hawaii dan baru kembali setelah kebakaran memburuk,” jelas Hangga.
Pemerintahan Australia sekarang dipimpin partai liberal yang konon ahli mengelola ekonomi, namun tidak cukup lincah mengelola kesejahtraan, termasuk kesehatan. Kendati demikian, sejak Maret, Hangga melihat adanya upaya serius dari pemerintahan Australia dalam menangani Covid-19. “Tidak hanya melandaikan kurva, tapi melantaikan kurva,” ungkapnya.
Lebih jauh, Hangga menjelaskan bahwa pemerintahan Australia menomorsatukan kesehatan. “Tidak perlu menunjukan gejala demam untuk tes Covid-19, siapapun bisa tes, termasuk warga negara asing,” ungkapnya menanggapi kebijakan tes Covid-19 gratis di Australia.
Sektor Terdampak selama Pandemi
Hangga Fathana menilai Indonesia belum seharusnya masuk new normal. “Kita masih dalam masa transisi. Salah salah satu syarat dari World Health Organization (WHO) adalah transmisi Covid-19 yang dapat dikendalikan. “Kita belum bisa mengendalikan itu,” tuturnya. Hangga juga beranggapan bahwa new normal menjadi euphoria yang disalahpahami.
New normal seolah-olah sudah ditetapkan dari kebijakan pusat. Padahal new normal baru diinisiasi untuk Jakarta karena ada penurunan angka disana. Hasbi melihat kebijakan Covid-19 tidak tersentralisasi di pemerintahan pusat, bahkan justru dilimpahkan ke daerah masing-masing. Ia tidak melihat adanya kebijakan new normal di daerah dan menganggap pemerintah daerah lambat merespon situasi pandemi, meskipun begitu, new normal terkesan sudah berlaku di Indonesia.
Dengan kinerja demikian, lantas apa upaya pemerintah untuk menyelamatkan sektor ekonomi yang terdampak? Kebijakan basic income yang mana memberikan uang tunjangan bulanan kepada orang dewasa untuk memenuhi kebutuhan dasar, nampaknya menjadi salah satu bentuk respon upaya pemerintah yang sempat hangat diperbincangkan. Enggar beranggapan bahwa kebijakan ini dapat meningkatkan gairah masyarakat sehingga roda perekonomian berjalan kembali.
Dalam hal lain, Rizki berpendapat bahwa negara maju dengan ekonomi yang lebih stabil, kebijakan basic income lebih memungkinkan untuk diterapkan. “Di Indonesia, kita tidak bisa meminta terlalu banyak pada negara” tuturnya.
Melanjutkan Rizki, Enggar melihat ada dampak yang ditimbulkan karena kebijakan basic income terhadap keuangan pemerintahan. “Pemerintah akan mengalami penurunan pendapatan,” tuturnya. Hal ini, menurut Enggar, dapat mempengaruhi kinerja pemerintah dan proyeksi peningkatan hutang negara beberapa tahun ke depan.
Karena bantuan bersifat sementara, Rizki berpendapat bahwa tidak hanya uang yang dibutuhkan masyarakat, tetapi juga kemampuan untuk beradaptasi. “Bagaimana pemerintah tidak hanya menyediakan skill, tetapi juga lapangan kerja sebagai opsi yang ditawarkan kepada masyarakat,” ungkap Rizki.
Dengan begini, jelas kebijakan basic income terlihat kurang mampu menangani kondisi ekonomi di Indonesia yang nyatanya tidak hanya di sektor ekonomi, tapi banyak sektor yang terdampak karena pandemi Covid-19, tak terkecuali sektor pendidikan.
Hangga Fathana mengungkapkan bahwa setiap tahun Yogyakarta berkontribusi 12,7 triliun di sektor pariwisata diikuti sektor pendidikan yang mencapai 11 triliun. “Tahun ini jelas tidak bisa mencapai itu,” tuturnya. Di sektor pendidikan, ia melihat mulai timbul keengganan dari para orang tua untuk menyekolahkan anaknya terlalu jauh. Ditambah lagi moratorium CPNS tahun ini menjadi momok tambahan bagi lulusan sarjana baru.
Dalam jangka pendek, Hangga Fathana menganjurkan agar lulusan dibekali kemampuan wirausaha. “Bukan hanya berwirausaha dan melulu punya bisnis, tapi utamanya membangun entreprenural mindset. Kemampuan untuk melihat ceruk sebuah kegiatan atau produk, dan mendapatkan pendapatan dari apa yang belum digali,” tuturnya.
Dalam jangka panjang, Hangga Fathana berpendapat pemulihan ekonomi terlihat cukup menjanjikan. “Pertumbuhan ekonomi akan tumbuh dengan cukup baik dalam tiga tahun mendatang,” tuturnya. Hangga juga menambahkan bahwa ke depannya, bila new normal benar-benar diterapkan, akan mendorong sektor industri tertentu yang berdampak pada terbukanya lowongan baru.
“Tenaga IT semakin dibutuhkan. Rumah sakit juga banyak berinovasi. Selain banyak dibutuhkan, tenaga medis juga banyak yang membuka konsultasi melalui media daring, sehingga tidak harus bertatap muka,” tuturnya. Ia berpandangan peningkatan kualitas produk kesehatan akan bermuara pada perkembangan opsi karir di masa mendatang.
Di tengah kondisi yang kompleks ini, tidak jarang terlihat pihak-pihak yang memiliki wewenang justru melahirkan “pameran diskoordinasi” antara satu dan lainnya. Tidak heran, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, sempat naik pitam pada rapat kabinet yang diadakan Juni lalu.
“Krisis, keadaan ekonomi sama seperti yang ditampilkan presiden, beliau pekan lalu cukup bernada tinggi dalam rapat kabinet, menginstruksikan agar kebinet memiliki rasa yang sama,” ungkap Hangga Fathana. Lebih lanjut Hasbi berpendapat penting untuk pemangku kebijakan dan para ahli untuk melihat bahaya pandemi. “Sehingga negara dapat memutuskan langkah apa yang tepat,” tuturnya.
Kendati demikian, Hangga Fathana menyebutkan bahwa sudah ada banyak dampak yang ditimbulkan secara ikhtiar dan kebijakan pemerintah. “Secara kualitas sudah bagus. Namun diperlukan koordinasi dan konsolidasi, serta kemauan untuk saling memahami, baik pemerintah ataupun masyarakat,” pungkasnya. (IG/RS)