Tantangan dan Sisi Gelap Ekonomi Digital
Pilihan Indonesia untuk menggenjot ekonomi digital merupakan pilihan bijak dan patut diapreasi. Apa pasal? Adopsi TI, terutama Internet, telah dan akan tumbuh dengan pesat di Indonesia. Ini adalah ladang subur untuk penyemaian dan pertumbuhan ekonomi digital. Selain itu, bonus demografi yang berisi orang muda merupakan generasi pribumi digital (digital natives) dengan eksposur dan kemampuan teknologi informasi (TI) yang sangat baik. Mereka memainkan dua peran penting sekaligus, sebagai pelaku ekonomi aktif dan pasar potensial.
Tidak sulit mencari bukti. Jika kita tengok, banyak anak muda berbakat di belakang bisnis rintisan (startups) yang sekarang moncer, seperti Go-jek, Bukalapak, dan Salestock. Banyak di antara mereka yang merupakan pribumi digital dengan segala karateristik uniknya. Mereka cenderung anti kemapanan dan aktif mencari perspektif baru. Hadirnya TI, terutama penetrasi Internet yang semakin luas dan murah, telah membuka peluang ini.
Saat ini, tidaklah lagi terlalu ekstrim jika kita mengatakan bahwa mereka tidak bisa hidup tanpa TI. Hadirnya layanan baru berbasis TI telah mengubah gaya hidup banyak orang. Saya yakin, layanan-layanan baru akan bermunculan. Di sinilah, diperlukan perspektif yang tidak hanya dimulai dari masalah (deductive thinking), tetapi juga sensitivitas dalam melihat potensi TI (inductive thinking).
Ini adalah tantangan yang harus direspons oleh banyak aktor yang menyiapkan pelaku ekonomi digital, termasuk perguruan tinggi. Perguruan tinggi, saat ini, ditantang untuk menilai ulang relevansi eksistensinya. Apalagi beberapa tahun lalu, Google yang kemudian diikuti beberapa perusahaan kelas global, mengumumkan bahwa mereka menerima pegawai tanpa gelar sarjana. Bukan tidak mungkin, tren ini juga sampai ke Indonesia.
Kurikulum harus selalu disesuaikan dengan selera zaman, tetapi tanpa meninggalkan penyuntikan nilai-nilai etis yang mengawal nurani tetap pada relnya. Nilai-nilai ini akan menjadi penting di tengah bangkitnya ekonomi digital.
Jika tidak, ekonomi digital dapat menjadi lahan ekspolitasi sesama yang tuna sensitivitas etis, karena kepentingan ekonomi para pemodal menjadi panglima. Selain itu, bukan tidak mungkin ekonomi digital dapat memperdalam kesenjangan sosial yang saat ini masih menjadi masalah kronis. Selain memunculkan lapangan kerja baru, ke depan, ekonomi digital juga akan menghilangkan banyak lapangan kerja tradisional. Hal ini dapat memunculkan pengangguran bagi mereka yang tidak mempunyai kompetensi sesuai zamannya. Menjadi pengguna aktif TI, tidak cukup untuk menjadikan pribumi digital menang dalam persaingan. Jika tidak diantisipasi dengan baik, hal ini tentu akan memunculkan masalah sosial baru.
Singkatnya, di balik beragam peluang yang ditawarkan oleh ekonomi digital, kita tidak boleh menutup mata terhadap beragam sisi gelap yang dibawanya.
—
Artikel ini pertama kali dirilis dengan judul yang sama pada situs web: watyutink.com