,

Dua Profesor UII Sampaikan Pidato Pengukuhan

Universitas Islam Indonesia (UII) kembali mengukuhkan dua profesor, yakni Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si dalam bidang Ilmu Media dan Jurnalisme dan Prof. Dr. Drs. Tamyiz Mukharrom, M.A dalam bidang Ilmu Ushul Fikih. Dua dosen UII ini menyampaikan pidato pengukuhan pada Selasa (25/6) di Auditorium Kahar Muzakkir Kampus Terpadu UII.

Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si menyampaikan pidato berjudul Kebebasan Akademik dan Resiliensi Otoritarianisme di Indonesia. Dalam pidatonya, dipaparkan diskursus akademik, fenomena resiliensi otoritarianisme di tubuh perguruan tinggi dan akademisi, dan solusi bagi tata kelola universitas.

Dikemukakan Prof. Masduki, terdapat tiga perspektif yang dirujuk banyak pihak dalam mengurai definisi dan nilai-nilai kebebasan akademik, yaitu perspektif saintifik, utilitarian-pragmatis, dan perspektif publik.

“Perspektif saintifik maknanya otonomi akademis dalam produksi pengetahuan hingga publikasi. Perspektif utilitarian mengedepankan kebebasan universitas melaksanakan mandat melahirkan lulusan yang siap kerja dan penghormatan terhadap hak profesional (ekonomi) para akademisi. Sementara itu perspektif publik beranjak dari upaya memastikan relevansi kampus terhadap demokratisasi ilmu pengetahuan dan demokratisasi sosial politik,” terang Prof. Masduki

Prof. Masduki menjelaskan bahwa dalam tiga dekade terakhir terjadi resiliensi otoritarianisme dalam pola yang bervariasi. Ada tiga hal seperti kebijakan liberalisasi kampus melalui alih status Perguruan Tinggi Negerti dari Satuan Kerja menjadi Badan Hukum (PTN-BH), birokratisasi kerja akademik terkhususnya karier dosen, dan akselerasi penggunaan teknologi digital sebagai alat monitoring kinerja.

“Resiliensi di sini bermakna ketangguhan rezim politik tertentu atau resistance to change (Humbert dan Joseph, 2019). Rezim politik otoriter sebagai pengalaman sejarah di suatu negara pasca-otoriter seperti Indonesia, terus bertahan, beradaptasi, berkelindan dengan neoliberalisme bahkan demokrasi prosedural, bertransformasi melalui artikulasi represi baru yang lebih halus,” paparnya

Lebih lanjut, Prof. Masduki berpesan agar perguruan tinggi kembali ke amanat konstitusi UUD 1945 bahwa layanan pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa yang menjadi tugas pemerintah seutuhnya bukan diserahkan kepada mekanisme pasar yang tugasnya dibebankan kepada rakyat.

“Neoliberalisasi pendidikan dan upaya pewarisan politik otoriter menyebabkan pendidikan tinggi kehilangan haluan. Kebutuhan jangka pendek menjaga stabilitas atau tertib sosial mengabaikan kepentingan jangka panjang membangun budaya akademik yang sehat dan berwibawa di kampus. Oleh karena itu, gerakan kembali ke haluan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa, yang dikelola secara otonom mutlak berlaku,” tandasnya

Pembaruan Ushul Fiqh

Di tempat yang sama, Prof. Dr. Drs. Tamyiz Mukharrom, M.A menyampaikan pidato berjudul Pembaruan Ushul Fiqh sebagai Respons Terhadap Beragam Problem Kontemporer, dimana adanya problematika kontemporer yang muncul menuntut fiqh untuk dapat menjawabnya sehingga butuh perangkat ijtihas yang responsive dan kekinian

Dalam pidatonya Prof. Tamyiz menyampaikan, terdapat beberapa pendapat tentang pembaruan ushul fiqh (tajdid ushul fiqh). Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa ushul fiqh tidak perlu direkonstruksi total, tetapi hanya perlu disempurnakan dengan ditambahkan beberapa hal yang memang baru, kontemporer dan belum masuk dalam kaidah-kaidah ushuliyyah.

“Kedua, pendapat yang mengatakan perlu rekonstruksi terhadap ilmu ushul fiqh, dengan ditambahi beberapa hal kaidah ushul dan re-terminologi. Selanjutnya ada kelompok ketiga yang mencoba mendekonstruksi ushul fiqh, karena ushul fiqh dianggap metodologi using yang sudah tidak bisa digunakan untuk menjawab tantangan zaman,” terang Prof. Tamyiz.

Dikemukakan Prof. Tamyiz, ia memposisikan dirinya dalam Tajdid Ushul Fiqh yang mirip dengan kelompok nomor dua dengan beberapa modifikasi. Dalam hal ini, Prof. Tamyiz setuju dengan pembaruan ushul fiqh dengan ditambahkan beberapa prinsip seperti seperti maqashid al- syari’ah, kebebasan, keuniversalan (fitrah), dan ilmu- ilmu sosial.

“Sebagai salah satu contoh, implementasi maqashid al- syari’ah menurut penulis, perlu menjadi ruh atau spirit dalam setiap kaidah ushul fiqh yang ada (qawa’id ushuliyyah). Jadi maqashid al-syari’ah itu tidak berdiri sendiri di luar ushul fiqh atau menjadi cabang dari ushul fiqh, tetapi melandasi dan menjadi prinsip setiap kaidah- kaidah ushuliyyah, sampai kaidah terkecil sekalipun,” jelasnya.

Prof. Tamyiz menambahkan, sedangkan tajdid ushul fiqh dengan metode filasafat (tajdid ushul fiqh bi manhaj al-falsafah) menurut penulis, tidak cocok diterapkan dalam pembaruan ushul fiqh, karena berbeda metodologi. (AHR/RS)