, ,

Dua Dosen UII Sampaikan Pidato Pengukuhan Profesor

Dosen Program Studi Akuntansi Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Rifqi Muhammad, S.E., M.Sc., Ph.D. dan dosen Program Studi Hukum UII, Prof. Nandang Sutrisno, S.H., LL.M., M.Hum., Ph.D. dikukuhkan sebagai profesor pada Selasa (30/1) dalam Rapat Terbuka Senat Pidato Pengukuhan Profesor di Auditorium K.H. Abdul kahar Muzakkir, Kampus Terpadu UII. Masing-masing dosen UII ini dikukuhkan sebagai Profesor Bidang Ilmu Akuntansi dan Profesor Bidang Ilmu Hukum Internasional.

Upacara pengukuhan diawali dengan penyampaian pidato oleh Rifqi Muhammad dengan judul Harmonisasi Standar Akuntansi Keuangan Syariah dalam Pengembangan Sektor Keuangan Islam. Dalam paparannya Rifqi Muhammad mengemukakan sektor keuangan Islam menghadapi penetrasi global terutama proses standardisasi praktik akuntansi secara internasional melalui IFRS. Hal ini menimbulkan dampak adanya praktik akuntansi di sektor keuangan Islam di beberapa negara akhirnya mengabaikan keunikan transaksi keuangan yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

Perkembangan dinamika internasional menurut Rifqi Muhammad perlu terus diikuti dan disikapi dengan kritis dan membangun komunikasi dengan berbagai elemen pembentuk standar akuntansi di tingkat global. Pertama, Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) perlu menjalin komunikasi yang intensif melalui perwakilan negara-negara yang menjadi anggota di AAOIFI dan IFRS Foundation untuk membahas berbagai kemungkinan harmonisasi standar akuntansi internasional untuk sektor keuangan Islam.

“Kita perlu memahami bahwa produk-produk dalam bentuk standar akuntansi dan auditing yang dikeluarkan oleh AAOIFI telah menjadi rujukan yang baik dalam rangka pengembangan sektor keuangan Islam khususnya di Indonesia,” tuturnya.

Kedua, menurut Rifqi Muhammad, para perwakilan penyusun standar akuntansi di beberapa negara yang memiliki sektor keuangan Islam perlu menguatkan posisi AAOIFI dengan mengadopsi sepenuhnya atau hanya mengakomodasi beberapa standar sebagai bagian menjaga atau bahkan meningkatkan eksistensi AAOIFI dalam kancah global. Setidaknya negara-negara anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) perlu turut mempromosikan standar-standar AAOIFI sebagai referensi bagi sektor keuangan Islam.

Ketiga, AAOIFI harus mendorong bank-bank sentral dan regulator di negara-negara anggotanya, serta asosiasi penyusun standar akuntansi untuk mempromosikan standar akuntansi dan produk-produk AAOIFI karena otoritas tersebut memiliki wewenang untuk mengatur sektor keuangan Islam di negara masing-masing. Saat ini, AAOIFI memiliki lebih dari 200 anggota di seluruh dunia. Hal ini dapat menjadi aset potensial untuk mensosialisasikan standar-standar akuntansi bagi sektor keuangan Islam.

Keempat, AAOIFI harus berpikir untuk mengembangkan gagasan tentang firma akuntansi dan audit yang dapat entitas-entitas pada sektor keuangan Islam. Saat ini, sebagian besar sektor keuangan Islam justru diaudit oleh kantor firma audit konvensional yang kurang memiliki kapasitas dan kemampuan yang cukup terkait dengan praktik di entitas keuangan Islam.

“Meskipun jika juga memahami bahwa beberapa kantor firma audit konvensional telah mempekerjakan ulama dan pakar di bidang keuangan Islam untuk membantu mereka dalam memeriksa laporan keuangan entitas keuangan Islam. Hal ini tentu belum cukup untuk memastikan bahwa mereka memiliki kualitas audit yang memadai bagi entitas keuangan Islam,” tutur Ketua Program Studi Akuntansi Program Sarjana ini.

Kelima, lanjut Rifqi Muhammad, AAOIFI dan IAI perlu mengembangkan pusat pendidikan bagi sektor keuangan Islam yang berkonsentrasi pada pengembangan sumber daya manusia yang menguasai sistem akuntansi konvensional, ilmu syariah, dan sistem keuangan Islam.

Kedaulatan SDA dalam WTO

Prof. Nandang Sutrisno, S.H., LL.M., M.Hum., Ph.D. menyampaikan pidato pengukuhan berjudul Menegakkan Kedaulatan Permanen atas Sumber Daya Alam (SDA) dalam Rezim Hukum World Trade Organization. Sejauh ini menurut Nandang masih muncul pertanyaan, bagaimana kemungkinan menegakkan kedaulatan permanen atas SDA atau Permanent Sovereignty over Natural Resources (PSNR) dalam Rezim Hukum World Trade Organization (WTO).

Hasil penelitian yang dilakukan Nandang Sutrisno mengindikasikan bahwa PSNR telah diakui keberadaannya dalam interpretasi kasus-kasus sengketa perdagangan internasional yang terkait dengan SDA, meskipun WTO sendiri tidak mengatur secara khusus perdagangan internasional SDA.

“Dari kasus-kasus yang saya teliti, Panel maupun Appellate Body dari WTO tidak atau setidaknya kurang berpihak pada penegakan PSNR untuk kepentingan nasional anggota-anggota WTO. Hal ini bukan karena WTO menganut pandangan sempit dalam menginterpretasikan PSNR, tetapi semata-mata karena kebijakan-kebijakan perdagangan internasional yang diambil oleh negara-negara yang bersangkutan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar WTO,” jelasnya.

Rektor UII Periode 2017-2018 ini mengemukakan langkah ke depan agar Indonesia sebagai anggota WTO dapat membuat, melaksanakan dan menegakkan hukum nasional yang melindungi SDA tanpa melanggar ketentuan-ketentuan hukum WTO?

Pertama, Indonesia dapat memanfaatkan legal gap, yakni kelemahan WTO dalam pengaturan export control. Tidak ada pengaturan tentang tarif ekspor maksimal yang boleh dikenakan oleh anggota WTO terhadap ekspor komoditas atau produk terkait SDA. Karakteristik WTO yang sangat ketat dalam penafsiran hukum, sekaligus dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk membuat kebijakan tarif ekspor, daripada kebijakan non-tarif melalui larangan restriksi kuantitatif.

Kedua, lanjut Nandang Sutrisno, pemerintah hendaknya melakukan harmonisasi peraturan dari segala sektor terkait SDA dengan ketentuan-ketentuan WTO. Sementara yang ketiga, pemerintah hendaknya menumbuhkan semangat “nasionalisme” kepada pelaku-pelaku industri dan perdagangan terkait SDA, sehingga pertimbangan-pertimbangan kepentingan nasional Indonesia lebih diarus-utamakan secara volunteer, daripada kepentingan-kepentingan bisnis sesaat.

“Pemerintah harus terus menerus meningkatkan kemampuan aparatnya dalam membuat kebijakan-kebijakan yang cerdas, yang melindungi kepentingan nasional tanpa melanggar hukum internasional,” tandas Nandang Sutrisno. (CWN/RS)