, ,

Dua Dosen UII Dikukuhkan Sebagai Guru Besar

Dua dosen Universitas Islam Indonesia (UII) menyampaikan pidato pengukuhan dalam Rapat Terbuka Senat UII yang digelar di Auditorium K.H. Abdulkahar Mudzakkir, Senin (30/5). Kedua dosen yang dikukuhkan yakni Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Sistem Informasi dan Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum. sebagai Guru Besar Bidang lmu Hukum.

Prof. Fathul Wahid dalam pidatonya mengangkat judul Media Sosial: Penyubur atau Pengubur Demokrasi. Sebagai penyubur, salah satunya ia mencontohkan pemanfaatan aplikasi LAPOR! (lapor.go.id) sebagai portal Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat. Aplikasi ini telah menghadirkan dampak baik.

Disampaikan Prof. Fathul Wahid dalam pidatonya, pada Mei 2022, LAPOR! sudah digunakan oleh 658 lembaga pemerintah, mulai kementerian, pemerintah provinsi, sampai dengan pemerintah kabupaten/kota. Beragam kemungkinan tindakan bisa difasilitasi oleh aplikasi ini. Termasuk di antaranya adalah minimalisasi laporan yang salah tujuan, integrasi beragam kanal, fasilitasi prioritasi masalah, transparansi kinerja institusional, dan percepatan inisiatif partisipasi.

“Kisah di atas memberikan harapan segar bahwa media sosial dapat menjadi penyubur demokrasi, ketika suara warga negara mendapatkan kanal atau digunakan sebagai basis pengambilan kebijakan, termasuk dalam memberikan layanan publik yang lebih bermartabat,” tutur Prof. Fathul Wahid.

Selain itu disampaikan Prof. Fathul Wahid, tren penggunaan media sosial untuk manipulasi opini publik terjadi di hampir seluruh negara. Kasus penggunaan media sosial untuk penggiringan opini juga terjadi di Indonesia. Contohnya, media sosial telah secara masif digunakan untuk kampanye politik di Indonesia guna mengamankan kekuasaan melalui pemilihan umum yang kompetitif.

“Pemantauan percakapan di media sosial menegaskan hal ini dan memberikan gambaran yang lebih detail. Kita juga bisa mengambil kasus yang lebih mutakhir ketika pasukan siber terlibat dalam pembentukan opini publik ketika proses revisi UU KPK atau UU Cipta Kerja dilakukan, untuk mendukung salah satu pihak,” jelas Prof. Fathul Wahid.

Prof. Fathul Wahid menegaskan, berbagai kisah suram tersebut menunjukkan bahwa media sosial dapat menampilkan sisi jahatnya sebagai pengubur demokrasi, ketika opini dimanipulasi untuk kepentingan segelintir orang atau kelompok tertentu, dan mengabaikan kemaslahatan bersama.

Kehadiran Blokchain Sebuah Keniscayaan

Di tempat yang sama, Prof. Budi Agus Riswandi dalam pidatonya mengangkat judul Teknologi Blockchain, Hak Cipta dan Islam. Ia mengemukakan kehadiran teknologi blokchain merupakan keniscayaan di era digital. Teknologi blockchain hasil kreasi manusia pada abad ini telah menyuguhkan dua sisi yang paradoks. Namun, apabila dilihat dari sisi positif kehadiran teknologi blockchain telah menawarakan cara kreatif dan inovatif untuk menjawab sejumlah tantangan kehidupan manusia yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi.

“Bagaimanapun pada kenyataannya perkembangan teknologi, khusus teknologi internet hari ini telah menciptakan serangkaian tantangan dalam kehidupan manusia tidak terkecuali dalam bidang hukum,” tutur Prof. Budi Agus Riswandi.

Disampaikan Prof. Budi Agus Riswandi, isu hak cipta yang banyak muncul akibat perkembangan teknologi internet merupakan salah satu tantangan yang dihadapi oleh bidang hukum. Isu-isu hak cipta yang dimaksudkan di antaranya mencakup pada isu pengakuan, perlindungan dan pengelolaan hak cipta itu sendiri.

“Pada kenyataannya, jika isu-isu hak cipta ini direspon hanya sebatas kepada pemanfaatan instrumen hukum an sich, nampaknya akan sangat sulit untuk dijawab karena hukum memiliki banyak keterbatasan. Tentunya dengan mengintegrasikan dan mengkolaborasikan cara hukum dan cara teknologi guna menyelesaikan isu hak cipta menjadi penting dan punya nilai kemanfaatan yang optimal,” terang Prof. Budi Agus Riswandi.

Teknologi blockchain diyakini dalam konteks ini, lanjut Prof. Budi Agus Riswandi, memiliki relevansi guna menyelesaikan isu-isu hak cipta, yaitu isu pengakuan, perlindungan dan pengelolaan hak cipta. Bahkan, nampaknya ke depan teknologi blockchain akan mampu menyelesaikan secara efektif dua isu tersebut.

Selain itu, menurut Prof. Budi Agus Riswandi, dengan dimanfaatkannya teknologi blockchain untuk tujuan hak cipta, maka pada dasarnya ini juga akan menguatkan atas pengakuan, perlindungan dan pengelolaan hak cipta itu sendiri. Pengakuan, perlindungan dan pengelolaan hak cipta pada hakekatnya tentunya berlaku secara universal.

Ia menuturkan, dalam konteks keIndonesiaan yang notabene-nya mayoritas masyarakatnya memeluk agama Islam, konsep mengenai pengakuan, perlindungan dan pengelolaan hak cipta ini ternyata masih relevan dengan nilai-nilai dan ajaran dalam Islam itu sendiri.

“Di samping itu juga, secara historis Islam sebenarnya sangat memperhatikan atas pentingnya pengakuan, perlindungan dan pengelolaan hak cipta. Untuk ikhitar ini dapatlah kiranya dioptimalkan melalui penggunaan teknologi blockchain,” tutup Prof. Budi Agus Riswandi.