Dosen UII Raih Gelar Profesor Bidang Ilmu Ushul Fiqih
Profesor di Universitas Islam Indonesia (UII) kembali bertambah. Kali ini Dr. Drs. Tamyiz Mukharrom, M.A., dosen UII pada Program Studi Ahwal Syakhshiyah menyandang gelar profesor dalam bidang Ilmu Ushul Fikih. Raihan ini menjadikannya sebagai dosen ke-2 di Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) dan ke-41 di UII yang berhasil meraih jabatan akademik tertinggi.
Secara simbolis Surat Keputusan Kenaikan Jabatan Akademik Profesor disampaikan oleh Koordinator Kopertais Wilayah III Daerah Istimewa Yogyakarta kepada Rektor UII dilanjutkan kepada Dr. Drs. Tamyiz Mukharrom, M.A. pada Selasa (13/2) di Gedung Kuliah Umum (GKU) Prof. Dr. Sardjito, Kampus Terpadu UII
Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D., dalam sambutannya menyampaikan bahwa jabatan profesor tidak sekadar prestasi personal, namun juga amanah publik. Mengutip Noam Chomsky, intelektual dari Amerika Serikat, Prof. Fathul menyampaikan soal tanggung jawab intelektual yang diemban akademisi. Salah satunya ialah kewajiban yang niscaya untuk menyuarakan kebenaran dan mengungkap kebohongan, meskipun dihadapi potensi tantangan dan risiko.
“Selain potensi risiko, di dalamnya termasuk, kurangnya rasa percaya diri, ditambah dengan kegamangan terkait efektivitas gerakan, membuat banyak akademisi enggan terlibat dalam aktivisme,” tutur Prof. Fathul.
Lebih lanjut, Prof. Fathul menyoroti minimnya kehadiran intelektual publik di Indonesia. Menurutnya, menjadi intelektual juga mencakup soal konsistensi antara kata dan perbuatan, sekaligus konsistensi sikap dalam konteks yang berbeda-beda, termasuk tatkala jauh dan dekat dengan lingkar kekuasaan.
“Saat ini, kita harus jujur akui, semakin sulit menemukan intelektual publik di Indonesia. Saya harus membedakan antara intelektual publik yang berbicara dengan hati dan ketulusan, dan selebritas akademik yang masih gandrung dengan sorot panggung dan glorifikasi,” ungkapnya.
Tidak jarang, terdapat sejumlah intelektual yang justru memilih untuk membatasi berbicara dan menulis hanya untuk disiplin ilmu masing-masing. Berdasarkan paparan Prof. Fathul, hal demikian terjadi akibat kekhawatiran akademisi untuk keluar dari garis demarkasi disiplin asal.
“Padahal ada tingkatan yang lebih tinggi, yaitu memberanikan diri berbicara dan menulis tentang disiplin ilmu mereka dan menghubungkannya dengan beragam konteks, termasuk sosial, budaya, dan politik,” pungkasnya.
Sementara Ketua Bidang Pengembangan Pendidikan, Pengurus Yayasan Badan Wakaf (YBW) UII, Prof. Drs. Allwar, M.Sc., Ph.D., berpesan bahwa jabatan profesor bukanlah akhir, melainkan awal dari perjuangan mendatang. Selain sebagai aset perguruan tinggi yang terus meningkatkan proses pembelajaran, Prof. Allwar berharap agar para profesor dapat berkiprah secara lebih luas di masyarakat.
“Tidak hanya aset perguruan tinggi sebenarnya, juga aset bangsa. Kita akan melihat bahwa profesor ini memiliki pemikiran-pemikiran yang dapat menyelesaikan persoalan bangsa, memberikan dampak positif tentang kondisi bagaimana indonesia sekarang,” sebutnya.
Koordinator Kopertais Wilayah III DIY sekaligus Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Prof. Dr.Phil. H. Al Makin, S.Ag., M.A., juga mengapresiasi raihan jabatan akademik tertinggi Prof. Tamyiz yang kini menjabat sebagai Direktur Pondok Pesantren UII.
Dalam sambutannya, Prof. Al Makin membahas relasi antara intelektual dan pemerintahan. Ia mengingatkan peran intelektual kampus yang diposisikan sebagai ulama, bersanding dengan pemerintah sebagai umara. Sepanjang sejarah, kaum intelektual telah menjadi aktor penting sejak pergerakan kemerdekaan hingga saat ini.
“Sebetulnya kaum intelektual, kaum intelegensia inilah yang mendirikan dan menggerakkan semangat self-government atau semangat kemerdekaan Indonesia. Dan peran ini tidak berhenti … ada keseimbangan antara pendapat publik yang dipunyai dan diajukan oleh para intelektual dan bagaimana pemerintahan itu berjalan,” tuturnya.
Menurut Prof. Al Makin, pada iklim demokrasi Indonesia, kampus dan kaum intelektual masih memiliki kesempatan yang luas untuk berperan. “Bagaimana kita mempunyai riset, bagaimana kita mempunyai pandangan, bagaimana kita mempunyai tulisan sesuai dengan kajian kita, atau sesuai dengan wisdom atau hikmah kebijaksanaan kita yang bisa berkontribusi ke masyarakat,” tandasnya. (JRM/RS)