Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam dari Perspektif HAM Islam
Melihat dari data jumlah penghasilan perusahaan kelapa sawit di dunia, Indonesia merupakan negara yang memiliki peruhasaan kelapa sawit cukup dominan dengan penghasilan yang cukup besar. Hal ini sebagaimana dalam data yang dipaparkan Direktur PUSHAM UII Eko Riyadi, S.H., M.H. dalam webinar dengan tema “Disekulibrium Relasi Manusia dengan Alam, Bagaimana Perlindungan Pengelolaannya Perspektif HAM Islam” yang diselenggarakan Takmir Masjid FH UII pada Senin (29/3).
Topik tersebut sangat berkaitan dengan adanya kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia setiap tahun, yakni terkait dengan perluasan lahan kelapa sawit. Selain itu, perusahaan-perusahaan ini juga didukung oleh bank-bank ternama, yang mana direksi-direksinya juga merupakan tokoh-tokoh poltik yang sangat dekat dengan masyarakat. Selain perusahaan kelapa sawit, ada juga perusahaan pertanahan.
Eko Riyadi mengatakan kaitan antara perusakan alam dan bagaimana kemudian manusia memandang alam berawal dari adanya ajaran kapitalisme, yang pada waktu itu orang-orang menyebutnya dengan renaissance. Kapitalisme pada awalnya adalah spirit agama dari Kristen Protestan. Dalam bukunya Max Weber yang berjudul “Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme”.
Weber mengatakan bahwa salah satu spirit yang membuat orang Protestan maju adalah karena mereka didorong oleh keyakinan agamanya bahwa kehidupan seseorang di akhirat itu tergantung pada kehidupannya di dunia, jika kehidupan di dunia nya baik, maka kehidupanya di akhiratnya akan baik juga, begitupun sebaliknya. “Itulah etika protestan yang dianut oleh orang protestan pada waktu itu, sehingga mayoritas orang Protestan lebih maju dibandingkan dengan orang Katholik,” ujar Eko Riyadi.
Adapun, seiring berkembangnya zaman, etika protestan ini cenderung hanya difokuskan pada aspek ekonominya saja. Inilah yang kemudian membuat manusia meletakkan alam sebagai objek yang bisa dikuasai dan diolah sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil riset dari Komnas HAM tentang masyarakat adat dari Aceh sampai Papua yang terusir dari tanahnya sendiri yang kemudian tanah-tanah tersebut dikuasai oleh perusahaan-perusahaan yang disokong oleh negara.
Selain itu, adanya kasus kemenyan di Medan, mete di Papua, pembangunan leuser di Jambi dan Riau juga menggambarkan bahwa alam semesta dianggap sebagai hal atau objek yang dapat digunakan sebanyak-banyaknya untuk memenuhi kebutuhan manusia. “Bahkan di undang-undang sendiri pun dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” papar Eko Riyadi.
Selain itu, terkait hubungannya dengan ekuilibrium (keseimbangan) sangat dipengaruhi oleh paradigma perekonomian suatu negara, contohnya Indonesia yang menganut ideologi Pancasila, namun dalam perekonomian Indonesia cenderung dekat dengan ideologi kapitalisme dan liberalisme. Meskipun begitu, masih ada negara-negara lain yang tetap mengusahakan ekuilibrium, seperti Swedia, Denmark, Norwegia, dll.
“Contohnya, di Swedia ada kebijakan terkait setiap bayi yang baru lahir di sebuah rumah sakit, maka data bayi tersebut akan langsung dikrimkan ke lembaga, kalo di Indonesia disebut Dukcapil untuk dibuatkan surat keterangan seperti akta kelahiran. Kemudian setelah itu bayi tersebut dibuatkan akun bank untuk diberikan biaya atau subsidi dari pemerintah. Begitulah salah satu cara mereka menjaga ekuilibrium itu,” ucap Eko Riyadi.
“Melihat pada fenomena sosial di Indonesia saat ini, orang-orang masih sangat sibuk mempersoalkan hal-hal yang sangat umum, sedangkan negara lain sudah jauh melangkah untuk melakukan penelitian mutakhir dengan pergi ke bulan misalnya. Dengan ini, sudah saatnya generasi Indonesia memikirkan hal-hal yang lebih penting seperti bagaimana cara menjaga ekuilibrium dan alam semesta untuk kesejahteraan manusia.
“Terkait nilai-nilai ajaran Islam bukan hanya diukur dari berapa banyak orang Islam di suatu negara, melainkan diukur dari bagaimana suatu negara menerapkan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan bernegaranya,” tandas Eko Riyadi menutup webinar. (EDN/RS)