,

Dampak Riset Perlu Diukur Lebih Komprehensif

Sebagai salah satu pilar penting perguruan tinggi, riset diharapkan untuk tidak hanya terbatas pada keluaran publikasi internasional. Persaingan global yang semakin kompetitif mendorong agar riset juga dapat memberi dampak yang lebih komprehensif di bidang akademik, maupun di bidang non-akademik.

Demikian disampaikan Profesor Alistair Hunt dari The University of Bath, Inggris dalam Training on Assessment of Research Impact, di Bangkok, Thailand, Jumat (31/8). Pelatihan ini diselenggarakan dalam kerangka kemitraan konsorsium Assessing and Improving the Research Performance at South East Asian Universities (Repesea) dengan dukungan dari Uni Eropa. Pelatihan ini dihadiri oleh delegasi 11 universitas dari 7 negara, termasuk Universitas Islam Indonesia.

DitambahkanAlistair Hunt, dampak riset dinilai sangat penting untuk diukur sesuai dengan penerima manfaat dari riset tersebut: akademisi, universitas, dan pemerintah. “Bagi akademisi, riset dapat berimplikasi terhadap peningkatan karier akademik. Riset juga dapat berdampak terhadap peningkatan reputasi universitas. Demikian halnya bagi pemerintah, dampak riset juga perlu diukur karena sebagai bentuk pertanggungjawaban penggunaan anggaran negara,” ungkapAlistair Hunt.

Lebih lanjut,Alistair Hunt menyebutkan beberapa contoh dampak akademik dari riset yang dapat dijadikan indikator. “Cacah dan kualitas publikasi, peningkatan karier akademik, indeksasi publikasi, dan kontribusi terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dapat menjadi pintu masuk untuk mengukur dampak riset,” tambahnya.

Sementara itu, pada bidang non-akademik, dampak riset dapat dilihat dari keterlibatan akademisi sebagai pemberi masukan terhadap proses pembuatan kebijakan di pemerintah, eksposur media, kemitraan dengan lembaga swadaya masyarakat, serta kolaborasi dengan industri, adalah hal-hal yang dapat digunakan dalam pengukuran.

“Selain itu, ada tidaknya pembentukan spin-out business, seberapa besar perubahan kebijakan pemerintah, serta bagaimana peningkatan kualitas kehidupan masyarakat juga penting untuk diukur sebagai dampak non-akademik,” ungkapnya.

Dalam pelatihan yang juga dihadiri oleh ratusan mahasiswa Burapha University dan National Institute of Development Administration, Thailand tersebut, Alistair Hunt menekankan pentingnya pengukuran dampak non-akademik untuk dilakukan secara lebih menyeluruh.

“Di Inggris, pengukuran dampak riset dilakukan secara integratif untuk semua perguruan tinggi dalam alat ukur Research Excellence Framework,” tambahnya. Meskipun demikian, Alistair Hunt menegaskan bahwa pengukuran dampak riset memerlukan pendekatan yang berbeda di setiap negara.

Melihat perlunya upaya pengukuran dampak riset yang lebih menyeluruh tersebut, UII menegaskan dukungan serta komitmen kuat melalui partisipasi aktif dalam konsorsium Repesea sejak akhir tahun 2016. Konsorsium ini telah melaksanakan berbagai aktivitas di berbagai tempat untuk meningkatkan kualitas riset di Asia Tenggara.

Wakil Rektor Bidang Networking dan Kewirausahaan UII, Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D. menyampaikan bahwa keluaran dari konsorsium Repesea di antaranya adalah enam modul yang berisi materi untuk meningkatkan kapasitas riset. “Modul ini akan dijadikan rujukan dalam pelatihan yang ditargetkan untuk diikuti oleh para peneliti junior,” ungkapnya. (HF/WR)