Dakwah Kontekstual
Bagi seorang muslim, dakwah merupakan kerja sepanjang hayat. Potongan hadis yang berarti, “sampaikan dariku meskipun satu ayat”, sering dijadikan basis. Penyampaian ayat ini tampaknya bisa diartikan lebih luas, tidak hanya dalam bentuk ajakan lisan, tetapi termasuk pemberian contoh dalam aktivitas sehari-hari untuk mengedukasi orang lain tentang nilai-nilai baik dan kebenaran.
Seorang muslim yang menampilkan sikap ramah terhadap sesama, dapat bermuatan dakwah. Dampak sikap ramah ini akan sangat luar biasa di konteks ketika islamofobia berkembang pesat.
Belajar dari Salah
Mohamed Salah, pemain sepakbola muslim klub Liverpool, Inggris, yang berasal dari Mesir merupakan contoh fenomenal untuk memberikan ilustrasi. Kehadirannya di Merseyside, lokasi klub, telah berandil dalam penurunan kriminalitas sebanyak 18,9%. Cuit anti-Muslim di Twitter yang diunggah oleh pendukung Liverpool pun menurun 50%.
Salah yang menampilkan diri sebagai seorang ayah yang ceria dan pesepakbola yang ramah dan fantastik telah membalikkan kesan negatif terhadap Islam yang dipersepsikan menakutkan. Seorang Salah telah mengakrabkan penggemarnya dengan Islam. Kesimpulan ini didasarkan pada survei terhadap 8.000 penggemar Liverpool yang dilakukan oleh tim dari Stanford University[1].
Inilah yang saya sebut sebagai contoh dakwah kontekstual. Tentu, nomenklatur ini melengkapi pendekatan lain yang sudah ada. Cerita yang terekam hadis ketika Rasulullah melarang sahabatnya menghardik seorang badui yang kencing di dalam masjid di Madinah, memberikan referensi penting. Justru keramahan Rasulullah terhadap orang badui, yang belum paham dengan ajaran Islam, tersebutlah yang telah menyentuh hatinya.
Sesuaikan dengan konteks
Berkait dengan isu ini, dakwah kontekstual dapat secara sederhana didefinisikan sebagia ikhtiar mengajak orang lain kepada nilai-nilai baik dan kebenaran yang disesuaikan dengan konteks: lokasi geografis dan kualifikasi personal audiens. Ilustrasi Salah di Liverpool bisa menjadi contoh lokasi geografis dakwah dan pendekatan Rasulullah terhadap orang badui merupakan amsal audiens dakwah.
Ilustrasi lain bisa diberikan. Seorang penceramah di kawasan kumuh, misalnya, akan lebih terasa relevansinya jika mengajak audiens untuk bekerja keras dan menyukuri nikmat yang diterima, dibandingkan misalnya, dengan tema zakal mal. Dakwah kepada mereka yang masih belum akrab dengan ajaran Islam, tentu memerlukan cara khusus, supaya tidak justru menjauh.
Rasulullah diutus dengan peran sekaligus: membawa kabar gembira dan memberi peringatan. Dalam dakwah kita beritibak kepadanya. Tapi di lapangan, kita seringkali justru lebih banyak berfokus kepada yang kedua, sehingga mengesankan surga menjadi sangat elitis. Kabar gembira jarang didendangkan dalam dakwah.
Ayat 125 dari Surat An-Nahal dapat memberikan inspirasi terkait dengan pendekatan dakwah yang bisa didiskusikan dan diadopsi. Terdapat tidak pendekatan di sana: bi al-hikmah, bi al-mauidlati al-hasanah, dan bi al-mujadalah.
Ibarat bepergian bersama menggunakan mobil, hikmah digunakan untuk mengajak orang yang baru berjumpa untuk naik mobil. Kesan pertama haruslah baik supaya orang tergerak.
Setelah orang tersebut naik mobil bolehlah kita mengenal lebih jauh. Di sini pertukaran ide baik mulai terjadi. pendekatan bi al-mauidlati al-hasanah dengan pemberian nasihat, bimbingan, atau peringatan yang baik, digunakan di sini.
Ketika kedekatan sudah terjalin di dalam mobil, barulah diskusi atau debat dengan logika mungkin berlangsung dengan baik. Inilah strategi mujadalah yang dapat digunakan untuk membangun hubungan yang lebih akrab.
Salah memahami konteks, seperti membalik urutan dakwah, berpotensi menimbulkan masalah. Apa yang terjadi, misalnya, ketika strategi debat langsung digunakan di awal ketika orang belum mengenal ajaran Islam? Alih-alih mendekat, kesan yang muncul pun bisa tidak seperti harapan, apalagi jika debat terjebak pada emosi yang tidak terkendali.
Karenanya, kesan pertama sangatlah penting. Sahabat kita yang non-muslim tidak membaca Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber ajaran Islam. Yang mereka baca adalah perilaku kita. Tentu, akan sulit meyakinkan mereka bahwa ajaran Islam penuh kedamaian jika perilaku kita sebaliknya.
Elaborasi ringkat dari poin-poin pada sambutan pengantar sebuah buku yang ditulis pada 24 Februari 2022.
[1] https://www.weforum.org/agenda/2019/06/how-mo-salah-might-have-reduced-islamophobia-in-liverpool/