Kisah Alumni UII Lewati Dua Ramadan di Turki Ketika Pandemi
Balya Ibnu Maldan, seorang mahasiswa Istanbul Sabahattin Zaim University, Turki sekaligus alumni Universitas Islam Indonesia 2019 berbagi cerita mengenai pengalamannya melewati bulan Ramadan di negeri ataturk itu.
Kasus virus Covid-19 di Turki saat ini mengalami lonjakan yang sangat tinggi dengan menyentuh angka 30.000 kasus per hari. Presiden Erdogan membuat kebijakan untuk kembali melakukan lockdown. Meskipun roda pariwisata yang merupakan sumber kekayaan terbesar negara masih tetap berjalan.
“Saat ini kebijakan pemerintah per tanggal 29 April-17 Mei 2021, pemerintah Turki menerapkan lockdown total. Masyarakat harus tetap tinggal di rumah kecuali ada keperluan mendesak seperti perawatan medis yang mendesak,” papar Balya.
Di Turki, tradisi bulan Ramadan yaitu menabuh drum untuk membangunkan orang sahur sambil memakai kostum tradisional Ottoman. Sayangnya tradisi ini tidak dapat dilakukan karena pandemi.
“Saat ini bahkan masjid tidak dibuka untuk umum. Jadi, kami sholat tarawih di apartemen bersama mahasiswa muslim lainnya,” ceritanya.
Turki yang saat ini merupakan peringkat 4 dengan laju pertumbuhan penularan virus Covid-19 memang sangat mengkhawatirkan. Di saat negara Eropa lainnya mulai bangkit, Turki justru berada di titik terendah. Hal tersebut membuat pemerintah menerapkan kebijakan pelarangan berkumpul warga.
“Kami selalu buka puasa di apartemen. Restoran buka namun tidak melayani makan di tempat. Segi positifnya kami jadi sering memasak bersama. Kadang kami memasak rendang,” cerita Balya sampir tertawa.
Balya mengaku sudah sangat rindu terhadap kampung halamannya di Brebes. Rindu masakan Indonesia seperti bakso dan mie ayam. “Harapanku sih ingin cepat lulus dan pulang ke Indonesia. Indonesia ternyata ngangenin banget,” curhatnya.
Melewati Ramadan di negara orang tentunya akan memberi kesan yang berbeda. Perpaduan budaya yang tentunya sangat berbeda kadang akan membuat kita rindu akan kampung halaman. Makanan di Turki bisa dibilang sangat berbeda dengan Indonesia. Konsumsi diet karbohidrat di sana adalah roti.
Balya juga membagikan tips untuk bisa adaptasi selama kuliah di luar negeri. Ia mengaku akan lebih mudah jika kita kuliah di kampus yang menggunakan bahasa Inggris untuk pengantarnya. Untuk kuliah di Turki sendiri jika kampus menggunakan bahasa Turki sebagai pengantar, mahasiswa akan difasilitasi pelatihan bahasa selama satu tahun.
“Jika melihat teman saya yang kuliah menggunakan bahasa Turki sebagai pengantar, kayaknya satu tahun kurang deh buat betul-betul paham. Belum lagi kalau misal S2 kan ada penulisan tesis dimana pastinya aturan kepenulisan sangat diperhatikan. Jadi, saya harap teman-teman yang ingin kuliah di luar negeri, terutama ke Turki saya sarankan mengambil yang pengantarnya bahasa Inggris,”pesannya.
Ia juga bercerita jika perbedaan antara kuliah di Indonesia dan Turki tidak jauh berbeda. Untuk biaya hidup Turki termasuk negara yang sangat terjangkau.
“Bedanya sih paling disini lebih nyaman, sehat, dan terfasilitasi. Untuk kerja part time atau sambilan juga mudah. Itu pun akan mampu menutupi kebutuhan sehari-hari. Teman-teman yang bermimpi untuk kuliah di Turki, semangat!!!,” tutup Balya. (UAH/ESP)