Bukan Kutukan, Penyakit Kusta Bisa Disembuhkan
Sekelompok mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) yang beranggotakan Muhammad Rafi Falah, Tsaniya Ahda Indrayani, dan Salma Nur Hamidah Ikhwan mendapat prestasi dalam lomba World Leprosy Day (WOULD) 2022 yang diadakan Universitas Muhammadiyah Palembang. Mereka berhasil menyabet gelar Juara 3 bidang lomba poster terkait penyakit kusta yang masih menimbulkan stigma kutukan di masyarakat Indonesia pada Minggu (30/01).
Disampaikan Muhammad Rafi Falah, penyakit kusta atau Hansen’s Disease adalah penyakit infeksi kronis yang menyerang kulit dan sistem saraf tepi karena infeksi Mycobacterium leprae. Terdapat dua jenis penyakit kusta yang dibagi berdasarkan jumlahnya.
“Pausibasiler jika bagian kulit yang mengalami tampilan tidak normal berjumlah 1-5 dan multibasiler jika jumlahnya lebih dari itu,” jelasnya.
Menurutnya, penyakit kusta dapat menyebabkan kerusakan kulit yang dialami oleh penderitanya. Pada kasus pausibasiler penderita akan cenderung merasakan mati rasa yang jelas dan terdapat kerusakan pada satu saraf saja. Lebih parah pada multibasiler penderita akan merasakan mati rasa di kulit yang cenderung sulit dijelaskan karena bakteri sudah menyerang banyak cabang saraf.
Lebih lanjut, Tsaniya menyebutkan jika jumlah kasus kusta di dunia kali ini memang mengalami penurunan. Sebelumnya menurut WHO pada tahun 2018 kasus kusta terjadi sebanyak 208.619, sedangkan pada tahun 2020 jumlahnya menurun menjadi 127.558 kasus.
Tsaniyya membagikan tips agar tercegah dari penyakit kusta yang juga terdapat di poster. Cara tersebut dimulai dari menjaga daya tahan imun dan kebersihan diri yang baik. Orang yang memiliki daya tahan imun rendah akan lebih berisiko untuk tertular penyakit kusta. Apabila mengetahui teman atau keluarganya menderita penyakit kusta maka harus menjaga jarak.
“Penularan penyakit kusta bisa melalui kontak kulit dan juga pernafasan lewat droplet,” terangmya.
Salah satu bentuk pencegahan yang paling baik adalah dengan vaksin kusta. Namun, menurut Tsaniya di Indonesia sendiri hal tersebut masih belum diupayakan secara maksimal oleh Kementrian Kesehatan.
“Kusta juga memiliki stigma sosial di masyarakat yang dijuluki sebagai penyakit kutukan maupun guna-guna yang tidak bisa disembuhkan, seharusnya upaya untuk penanganan lebih maksimal lagi,” katanya.
Menurut Salma, gejala fisik yang umumnya dirasakan oleh penderita kusta selain mati rasa di kulit adalah kulit yang menebal dan kerontokan rambut. Apabila seseorang sudah mengenali gejala tersebut maka harus segera melakukan pemeriksaan di fasilitas kesehatan berupa pemeriksaan histopatologis, bakterioskopik, dan darah.
“Apabila diagnosanya positif, maka penderita akan diobati menggunakan antibiotik minimal selama 6 bulan,” tutur Salma. Tujuan dari pengobatan sendiri selain untuk menyembuhkan penderita juga akan memutus rantai penularan guna mencegah dampak yang lebih buruk seperti kebutaan, gagal ginjal, dan kerusakan permanen pada saraf. (UAH/ESP)