Bisakah Pemegang Saham Korporasi Dijatuhi Sanksi Pidana?
Di hadapan dewan penguji sidang promosi doktor, Ari Yusuf Amir, S.H., M.H berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Sistem Pertanggungjawaban dan Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pemegang Saham Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana”. Disertasi itu disampaikannya pada Ujian terbuka promosi Doktor pada Jumat (8/11), di Auditorium KH. Abdul Kahar Mudzakkir, Kampus terpadu Universitas Islam Indonesia. Sidang itu dipimpin oleh Rektor UII, Fathul Wahid, Ph.D.
Ide disertasi itu muncul dari keresahannya melihat banyaknya pihak-pihak yang secara istimewa kebal terhadap hukum yang berlaku. Di lain hal banyak orang yang dengan kesalahan kecil dengan mudah tersayat oleh tajamnya pedang hukum.
Bagi Amir, selama ini banyak pemegang saham dapat berkeliat dan menghindar dengan mudah dari tanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi tempat mereka berinvestasi. Jenis tindak pidana yang biasanya dilakukan oleh korporasi biasanya berupa manipulasi keuangan, penipuan akuntansi, penipuan konsumen, kartel, suap, tumpahan limbah beracun dan bahaya lingkungan, pelanggaran privasi, diskriminasi, kekerasan, dan pembunuhan, serta manipulasi perangkat lunak.
Tidak luput perhatiannya adalah kasus Kebakaran Hutan dan Lahan (karhutla), sepanjang tahun 2015 hingga 2019. Terdapat 58 korporasi yang diperiksa secara pidana atas dugaan karhutla. Selanjutnya data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan 99% penyebab karhutla adalah ulah manusia sementara 1% adalah faktor alam.
“Adapun motif pembakaran hutan dan lahan diduga kuat dilakukan untuk menghemat biaya operasional perusahaan dalam melakukan pembukaan lahan, sehingga perusahaan memperoleh keuntungan yang lebih besar. Selanjutnya keuntungan tersebut didistribusikan kepada pemegang saham sebagai dividen.” Papar Ketum DPP himpunan advokat pengacara muslim Indonesia itu.
Termasuk beberapa kasus tindak pidana korporasi lainnya seperti kasus Bank Dagang Bali, PD. Ratu Cantik, Kasus Meikarta dan Lippo Group, PT. Duta Graha Indah (DGI), PT. Nindya Karya, dan PT. Putra Ramadhan. Ada juga kasus perbankan seperti kasus Bank Harapan Sentosa (BHS) serta kasus Bank Century. Pemegang saham juga acap kali terlibat konflik kepentingan, pembukuan ganda, kejahatan teknologi, korupsi, serta pencurian aset.
Menurut Ari, investasi memang sangat diperlukan. Pemerintah membuat berbagai undang-undang demi terwujudnya investasi yang sehat sehingga pelaku ekonomi khususnya korporasi dan pemegang saham merasa aman. Akan tetapi, terdapat beberapa korporasi dan pemegang saham yang memanfaatkan perlindungan negara untuk berbuat pelanggaran.
“Idealnya, hukum adalah social engineering. Namun karena dinamika sosial lebih cepat dibandingkan hukum, maka sering berlaku law made as an order.” Jelas pria kelahiran Palembang 19 Oktober 1971 itu.
Selanjutnya disebutkan bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi, selama ini hanya pegawai dan direksi yang dimintai pertanggungjawaban pidana, jika korporasi melakukan tindak pidana.
“Hal ini terjadi karena Pasal 3 Ayat (1) undang-undang No. 40 Tahun 2007 membatasi pertanggungjawaban pemegang saham.” Jelas Ari.
Berdasar kajiannya, pemegang saham juga aktif mempengaruhi eksekutif korporasi untuk melakukan tindak pidana yang melibatkan perseroan. Pemegang saham dominan mempengaruhi kebijakan korporasi yang diambil oleh pengurus. (DD/ESP)