Bingkai Berpikir Konterfaktual
Surat Keputusan untuk kedua profesor yang diserahkan hari ini (02/04/2024) ibarat THR institusional bagi UII yang diterimakan di penghujung Ramadan. THR selalu menghadirkan kebahagiaan bagi penerimanya. Demikian juga bagi keluarga besar Universitas Islam Indonesia (UII).
Karenanya, saya mengajak semua hadirin, terlebih kedua profesor, Prof Johan Arifin dan Prof Sutrisno, untuk bersyukur atas nikmat yang tak berhenti terlimpah.
Kita juga menyampaikan selamat atas capaian tertinggi dalam kewenangan akademik ini. Profesor bukan gelar akademik, tetapi jabatan yang punya muatan amanah. Ada amanah besar yang melekat di sana.
Sampai hari ini, UII mempunyai 43 profesor aktif yang lahir dari rahim sendiri. Sampai awal April ini, selama 2024, UII sudah menerima empat SK profesor. Semoga ini menjadi pertanda baik untuk seterusnya.
Hubungan antartitik sebagai sunatullah
Pada kesempatan yang baik ini, izinkan saya mengajak hadirin untuk melakukan refleksi dan mengembara ke masa lalu. Bukan karena takut menghadapi masa depan, tetapi untuk mensyukuri beragam peristiwa dan pengetahuan yang kita kumpulkan dan kais di waktu lampau.
Ini soal menghubungkan antartitik (connecting the dots). Aktivitas ini tidak dapat dilakukan dengan maju ke masa depan. Ia hanya mungkin menghubungkan titik-titik di lintasan hidup kita yang sudah lewat.
Saya pernah ditanya, jika bisa kembali ke masa lalu, akan memilih waktu yang mana? Saya jawab: saya tidak mau kembali ke masa lalu.
Selain hal itu tidak mungkin dengan teknologi saat ini, apa pun kondisi kita saat ini, tidak terlepas dari pilihan-pilihan keputusan yang kita buat di waktu silam, baik karena pertimbangan matang maupun karena keterpaksaan. Belum tentu juga, jika kita memilih jalur lain dalam lintasan hidup di masa lalu, akan berakhir lebih baik saat ini.
Rangkaian keputusan itulah yang membentuk kita saat ini. Tentu, saya percaya, tidak semua yang kita bayangkan karena keputusan yang kita ambil, berjalan sempurna. Selalu saja ada kejutan dalam kelok lintasan kehidupan. Sebagian membahagiakan, sebagian lainnya menantang.
Bisa jadi, bagi Prof Johan dan Prof Sutrisno, lahirnya surat keputusan ini juga merupakan kejutan.
Di sana ada sunatullah, hukum alam, mekanisme semesta, algoritma jagat raya, yang dapat menjelaskan kausalitas, hubungan sebab akibat. Imajinasi kita terhadap hubungan kausalitas ini bisa jadi tidak selalu benar, tetapi ia tetap baik untuk memahami beragam fenomena.
Kausalitas keputusan
Kausalitas adalah salah satu pilihan model dalam pengambilan keputusan. Jika begini, maka begitu. Ada inferensi di sini. Karena ini juga, kita sering membuat beragam skenario yang melibatkan pasangan variabel sebab dan akibat. Setelah melalu evaluasi, dipilihkan skenario yang diyakini paling baik.
Namun, model tidak akan pernah lengkap, untuk memasukkan semua variabel yang terlibat. Selalu saya ada penyederhanaan karena beragam sebab, termasuk ketidaklengkapan informasi, kemampuan kognitif yang terbatas, dan waktu yang tidak bersahabat. Akhirnya muncullah konsep rasionalitas terikat (bounded rationaliy).
Hadir juga konsep pengambilan keputusan dalam ketidakpastian (decision making under uncertainty). Beragam pendekatan dikembangkan untuk konteks, ini termasuk model probabilitas sampai dengan penggunaan komputer untuk menyimulasikan.
Berpikir konterfaktual
Pendekatan kausalitas ini bahkan bisa diekstrapolasi ke masa depan. Jika ini diambil, maka diperlukan pemikiran yang konterfaktual (counterfactual), dengan membayangkan realitas alternatif di masa depan. Ini melengkapi model kausalitas deterministik (Cukier et al., 2022).
Beragam perandaian bisa dibuat. Ketika realitas alternatif di pilih, maka kita bisa jadi membayangkan sebab yang lain. Sebab ini bisa menjadi obyek intervensi kita sebagai ikhtiar menghadirkan akibat yang dibayangkan.
Selain itu, berpikir konterfaktual juga akan menjadikan kita menambah cacah pilihan dan tidak hanya memperdalam satu pilihan. Beragam skenario sebab akibat dapat dihasilkan. Masih banyak manfaat dari berpikir konterfaktual ini.
Cara berpikir seperti ini, relevan dengan pendekatan berpikir induktif. Ini melengkapi pola pikir deduktif yang banyak mendominasi kita. Pendekatan induktif tidak bermula dari masalah, tetapi dari observasi atau contoh. Dalam konteks organisasi, penalaran induktif dapat berangkat dari pemahaman akan pontensi.
Di sinilah peran bingkai (frame) menjadi penting. Bingkai bisa dirujuk dengan banyak sebutan, termasuk templat, abstraksi, representasi, atau skema.
Bingkai inilah yang menjadi model mental kita dalam pengambilan keputusan. Bingkai ini akan memperdayakan karena kita berfokus kepada pikiran kita, dan sekaligus membebaskan karena kita merdeka dalam memilih aspek realitas yang ingin kita tonjolkan (Cukier et al., 2022).
Di lapangan, beragam bingkai bisa saling berkontestasi atau hidup bersama dalam harmoni.
Beberapa ilustrasi
Kita ambil sebuah ilustrasi. Apakah kita sadar bahwa peta yang kita gunakan sehari-hari telah mempengaruhi model mental kita dalam melihat dunia? Peta dengan proyeksi Mercator dengan perluasan wilayah yang semakin dengan kutub, telah menjadikan wilayah negara imperialis Eropa pada masa lalu terlihat lebih besar dari senyatanya. Ada nilai yang disuntikkan ke dalam peta, yaitu hegemoni.
Peta awalnya digunakan, salah satunya, untuk membantu navigasi pelayaran, tetapi kemudian menjadi instrumen dalam kolonisasi sebuah wilayah.
Tahukah kita bahwa luas Pulan Hijau (Greenland) yang di peta tiga kali luas Benua Australia, ternyata 73,9% lebih kecil dibandingkan yang tergambar di peta (engaging-data.com/country-sizes-mercator/). Luas Rusia senyatanya hanya 53% lebih kecil dari yang terpampang di peta.
Luas Inggris aslinya lebih kecil 41,1% dari yang terproyeksikan di peta. Luas wilayah Amerika Serikat lebih kecil 23% dari yang tergambar di peta. Tapi luas Indonesia malah terdiskon -0,5% dari senyatanya.
Masih banyak contoh lain, yang kita telan mentah-mentah, tetapi sejatinya ada bingkai tersembunyi yang tidak selalu terlihat di awal. Termasuk di dalamnya, algoritma media sosial dan undang-undang/peraturan yang dibuat dengan kepentingan kelompok tertentu.
Dalam konteks artefak (peta termasuk sebuah artefak), bingkai adalah operasionalisasi dari nilai yang diyakini oleh desainernya.
Sadar bingkai
Mengenali bingkai orang lain menjadi penting, supaya tidak mudah terkecoh. Termasuk di dalamnya bingkai yang berkembang ketika musim pemilu yang sekarang masih belum final.
Bingkai yang digunakan untuk melihat amanah profesor pun akan mempengaruhi pilihan aktivitas akademik dan kerja intelektual masa depan setiap pemegangnya.
Prof. Sutrisno, mempunyai bingkai menarik terkait ini, dengan menyatakan: “Syukur alhamdulillah di masa injury time (menjelang pensiun), masih diberi kesempatan untuk lebih lama mengabdi menjadi guru besar di UII”. Ini bukan hasil wawancara, tetapi hasil pantauan atas status Facebook yang bersangkutan. 🙂
Semoga amanah profesor ini menjadi pembuka berjuta pintu keberkahan, tidak hanya bagi pribadi dan keluarga, tetapi juga institusi dan publik.
Referensi
Cukier, K., Mayer-Schönberger, V., & de Véricourt, F. (2022). Framers: Make better decisions in the age of big data. Penguin.
Sambutan pada acara serah terima Surat Keputusan Profesor atas nama Johan Arifin, S.E., M.Si., Ph.D. dan Dr. Drs. Sutrisno, S.E., M.M. di Universitas Islam Indonesia pada 2 April 2024