Belajar Demokrasi dan Aktivisme Dari AE Priyono
Demokrasi Indonesia banyak diwarnai keterlibatan kaum terpelajar yang terjun sebagai aktivis. Sedikit di antara nama aktivis yang dikenang memiliki keteguhan sikap dan pendirian atas demokrasi adalah Anang Eko Priyono (AE Priyono). Bulan April menjadi bulan duka atas wafatnya AE Priyono. Di samping sebagai aktivis demokrasi serta pemikiran Islam, ia juga merupakan alumni UII angkatan 80-an. Hingga akhir hayatnya, ia menjadi pribadi yang sangat sederhana sekaligus inspirasi intelek yang membela keadilan.
Hal inilah yang disorot oleh Ikatan Keluarga Alumni (IKA UII) dan Direktorat Pengembangan Karir dan Alumni (DPKA UII) yang menyelenggarakan bedah buku pemikiran AE Priyono. Acara ini bertemakan “Merawat Intelektualisme, Meruwat Demokrasi”.
Rektor UII, Prof. Fathul Wahid, Ph.D, membuka acara dengan menyebut tema yang diusung saat ini memberikan dua pesan. Yang pertama, konsistensi untuk selalu mempertanyakan banyak hal berdasarkan ilmu yang harus terus dijaga. Ini bertujuan untuk menjaga kewarasan nalar. Kedua, demokrasi tidak tumbuh dengan sendirinya seperti halnya kecambah. Untuk tumbuh dengan baik, diperlukan intervensi aktif dan kuat dengan sepenuh hati.
“Saya membaca lewat tulisan-tulisannya, mas AE memberi contoh untuk untuk tak lelah berfikir secara serius. Tidak hanya memuaskan rasa ingin tahu personal tapi lebih dari itu untuk mengedukasi dan membuat perbedaan di tengah-tengah masyarakat. Dengan pilihan sikap yang tegas dan gaya yang lugas, untuk penyuka perubahan, pesan kritisnya sangat bernas tapi bagi mereka yang berseberangan mungkin terasa pedas dan membuat telinga panas.” Jelasnya.
Sementara, Dr. Amalinda Savirani, M.A yang menjadi pembicara pertama, mengupas gagasan dari tulisan AE Priyono, yang berjudul Menolak Matinya Intelektualitas dan Pergulatan Intelektual Membela Demokrasi. Menurutnya, mas AE merupakan figur yang selalu membangun jembatan.
“Jembatan yang pertama yang dibangun mas AE adalah antara Yang Mulia ayat-ayat Al Quran dan keseharian. Karya ini membuat saya paham bahwa banyak agenda keislaman yang perlu diterjemahkan agar ayat illahiah memiliki instrumen konkrit dan menjawab persoalan keseharian warga muslim” ungkapnya.
Jembatan yang kedua adalah jembatan antara para aktivis dan akademisi. Amalinda melihat ini ketika ia menjadi dosen di Fisipol UGM dan AE Priyono menjadi mahasiswa pascasarjana di fakultas tersebut yang sedang mengerjakan tesisnya. Ia melihat AE mengambil beberapa topik dengan pemikiran liar dan bebas.
Padahal, tradisi akademik serba disiplin dan menjadi terlalu sempit baginya untuk berkarya. Ia juga sempat memberi masukan kepada AE agar mengambil satu topik saja namun AE hanya tersenyum sembari merespon bahwa itu berarti menyederhanakan masalah pengukuran demokrasi di Indonesia.
Amalinda melanjutkan bahwa jembatan yang terakhir adalah antara demokrasi substansif dan demokrasi prosedural. “Di negeri ini, mas AE melihat bahwa demokrasi justru sebagai tujuan akhir perjalanan. Dalam konteks inilah ia melontarkan semua kritisme pada parpol, elite, pemilu, kejijikan pada politisi yang menggunakan identitas sebagai instrumen mobilisasi. Ini adalah bentuk pemikiran utopis. Yang paling penting dari semua pemikiran mas AE adalah bagaimana cara memuliakan manusia dan demokrasi hanya sebagai alat saja” ujarnya.
Pembicara selanjutnya adalah Eep Saefulloh Fatah, MA, sosok yang dekat dan membersamai perjuangan Mas AE. Eep bercerita Mas AE sangat merawat intelektualnya. Hal ini terbukti dari kebiasaannya yaitu harus menelaah secara teliti gelagat dari kemungkinan pembajakan pemikiran sehat dan tujuan berdemokrasi.
Dari penjelasan Eep juga diketahui bahwa mas AE pandai membedakan dari apa yang diinginkan dan apa yang terjadi. Ia juga selalu menjadi pengingat dalam sisi tertentu yang kadang terlupakan karena terlalu optimis dan terlalu berbaik sangka pada keadaan.
“Mas AE tidak pernah memandang dengan terpesona kepada demokrasi liberal yang menggunakan aspek-aspek prosedural. Ia juga tidak pernah silau dengan hal yang menurut ia harus waspada disikapi” jelasnya.
Peranan mas AE yang sangat terkenang dalam benak Eep adalah pola pikirnya untuk mengintegrasikan tiga medan perjuangan dalam demokrasi. Perjuangan dalam level kesadaran yang berarti wawasan dan informasi harus luas juga memiliki empati dan aktivasi. Perjuangan pada level kekuatan adalah harus sanggup membangun kelompok dan organisasi jaringan. Terakhir, perjuangan pada level kesempatan yaitu mendistribusikan nilai-nilai yang langka di masyarakat. (CSN/ESP)