Belajar dari Qatar Menangani Covid-19
Komitmen dan kedisiplinan diperlukan sebuah negara dalam penanganan Covid-19. Qatar, sejauh ini menjadi salah satu negara dengan angka kematian kasus Covid-19 terendah di dunia. Negara dengan ibu kota Doha ini bertindak tegas memberlakukan regulasi dan mitigasi dalam satu payung komando pemerintahan. Kebijakan Qatar dalam merespon Covid-19 tersebut menjadi topik diskusi yang diadakan secara daring oleh Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII), Jumat (15/5).
“Secara umum, wabah global sebenarnya sudah pernah ada sejak lama seperti flu Spanyol yang terjadi seratus tahun lalu. Tetapi memang teknologi dan arus informasi saat itu tidak secanggih dan sederas saat ini,” ungkap Dr. Rakhmat Soebakti, M.Sc., Lead Medical Officer and Head of Occupational Health Qatar Petroleum Industrial Cities mengawali paparannya.
Dr. Rakhmat dalam diskusi virtual berjudul Belajar dari Timur Tengah: Penanganan Covid-19 di Qatar menyebutkan bahwa dari dua juta tujuh ratus penduduk di Qatar, ada seratus empat puluh tiga ribu yang sudah menjalani tes. “Dua puluh delapan ribu di antaranya dikonfirmasi positif. Dalam dua puluh empat jam, Qatar bisa memperoleh seribu tujuh ratus kasus baru, namun angka kematiannya hanya empat belas,” tuturnya.
Dr. Rakhmat mengaku bahwa di Qatar belum diadakan penelitian vaksin Covid-19, namun ia menilai pemerintah siap dan sanggup untuk memfasilitasi jika memang WHO berencana mengadakan penelitian di Qatar. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa karakter virus yang telah bermutasi membuat para ahli kesulitan dalam proses penelitian. “Contohnya di satu negara tertentu penyebaran dan angka kematiannya bisa begitu tinggi, namun di negara lain tidak, ini disebabkan karakter mutasi virus yang berbeda-beda,” imbuhnya.
Pemerintah berperan penting dalam menekan angka kasus melalui regulasi dan mitigasi yang diterapkan, sekaligus edukasi kepada masyarakat agar memahami pentingnya memiliki kultur yang higienis. “Ini tidak bisa dilakukan pemerintah sendiri, pemerintah harus menggandeng masyarakat. Pemerintah melakukan tugasnya, dan masyarakat mengikuti arahan,” tuturnya.
Dr. Rakhmat mengungkapkan bahwa di pemerintah Qatar sendiri menerapkan hukuman yang cukup berat untuk warga yang tidak mematuhi peraturan (merespon Covid-19). “Per minggu depan akan diberlakukan denda setara delapan ratus juta atau dipenjara selama 8 bulan. Bahkan bagi mereka yang bandel terlihat masih kumpul-kumpul, tidak hanya dihukum, tapi namanya juga akan diumumkan melalui laman dan diberitakan di koran,” tuturnya.
Ia menilai bahwa pemerintah Qatar tidak main-main dalam menangani Covid-19. “Angka kematian dapat mengindikasikan apakah penanganan dan kebijakan yang diterapkan sudah berjalan dengan baik atau tidak,” imbuhnya.
Dibandingkan dengan Qatar, Dr. Rakhmat menilai komitmen dan kedisiplinan kurang diterapkan di Indonesia. Akhir-akhir ini terlihat banyak kerumumunan di beberapa tempat seperti di bandara atau di tempat makan tertentu. “Sinkronisasi payung penanganan semua regulasi dan mitigasi ditetapkan oleh pemerintah yang artinya satu komando. Tidak bisa pemerintah pusat bilang A, tetapi pemerintah daerah bilang B,” ujarnya.
Penanganan dan mitigasi yang dilakukan Qatar terkenal dengan tracking dan tes acak yang dilakukan pemerintah bersama relawan secara intensif dan aktif. “Pemerintah Qatar juga membentuk tim khusus yang ditugaskan untuk community survey, yang melakukan edukasi dan mendekati kepala daerah agar pelaporan dan penanganan oleh pemerintah dapat dilakukan segera,” jelasnya.
Di sisi lain, regulasi di Qatar membuat pelayanan dokter spesialis ditiadakan kecuali emergensi. Lalu apa yang terjadi pada dokter spesialis seperti dokter gigi atau dokter syaraf? Dalam hal ini, Dr. Rakhmat menjelaskan langkah pemerintah Qatar dalam merespon permasalahan ini. “Pemerintah mengadakan redesign role. Mudahnya mengambil semua dokter spesialis untuk dilatih ulang untuk nantinya dapat membantu tenaga medis lain menghadapi Covid-19,” jelasnya.
Mendengar kabar terbaru dari WHO bahwa Covid-19 tidak akan hilang dalam waktu dekat, Dr. Rakhmat berpendapat bahwa para ahli perlu memikirkan bagaimana warga dunia menciptakan gaya hidup yang baru. “Kita boleh jalan-jalan tapi tidak lupa dengan masker dan cuci tangan. Intinya bagaimana kita dapat hidup berdampingan dengan Covid-19 sama seperti virus flu yang telah berlalu. Bisa ditinjau dari aspek kultur, politik, atau bahkan fashion yang dapat menjadikan masker ini trend pakaian,” pungkasnya. (IG/RS)