Bekal Bahasa Prancis Untuk Bertugas di Medan Konflik
Terlahir sebagai seorang perempuan bukan menjadi penghalang dalam berkarya menekuni profesi yang identik dengan citra maskulin. Hal inilah yang dirasakan oleh Briptu Hikma Nur Syafa, salah satu personil Kepolisian Republik Indonesia yang berkesempatan menjadi bagian dari pasukan penjaga perdamaian PBB (United Nations Peacekeeper).
Wanita berhijab ini sempat bertugas di Republik Afrika Tengah sejak pertengahan 2019 hingga Juni 2020. Hikma tertarik bergabung menjadi anggota pasukan penjaga perdamaian PBB karena keinginannya untuk pergi keluar negeri dan mengikuti misi kemanusiaan di daerah konflik. Kisah itu diceritakannya dalam acara Talk Show Ngopi di Warung Prancis yang diadakan oleh Café Prancis UII secara daring belum lama ini.
Ia meneruskan ceritanya, bak gayung bersambut, ternyata keinginan tersebut didukung oleh orang tua, keluarga dan teman-temannya. Perempuan yang akrab disapa Ima ini pun mengatakan bahwa selain dukungan, Ima juga mendapatkan berbagai pertanyaan dari lingkungan sekitar mengenai keputusan yang diambilnya untuk terjun di daerah konflik terlebih lagi dirinya adalah seorang wanita. Namun, Ima merasa bahwa menjadi seorang Pasukan Penjaga Perdamaian merupakan sebuah kebanggaan dan tantangan yang tidak ternilai.
Banyak pengalaman dan pandangan baru yang Ima petik ketika bertugas. Salah satunya perasaan miris melihat kondisi ekonomi masyarakat di tengah konflik. Anak-anak dan kaum perempuan di sana kesulitan mendapatkan akses pendidikan dan air bersih. “Merasa miris kenapa masih ada orang seperti mereka yang harus kesulitan untuk mendapatkan uang dan bahkan membangun mereka dari tanah merah.” Ujar Ima. Tidak jarang, ia bertemu anak-anak yang meminta roti sekedar untuk mengganjal perut. Mereka akhirnya mengenal Ima dan teman-temannya dengan baik.
Di medan konflik, Ima dituntut mampu beradaptasi dengan kondisi iklim dan budaya yang berbeda dengan Indonesia. “Karena setiap kelompok selalu dapat evaluasi dari PBB yang berpengaruh pada pengiriman pasukan selanjutnya.” Ujar Ima. Setiap anggota pasukan juga dituntut mandiri dalam mengerjakan tugas piket, patroli dan penjagaan yang dilaksanakan secara bergantian pada siang dan malam hari.
“Di daerah konflik bukan tempat untuk bermanja-manja.” Tegas Ima. Apalagi ketika mereka dihadapkan pada pertikaian kedua kelompok bersenjata dan menjaga posisi mereka untuk tetap netral dan mengamankan warga sipil agar tidak menjadi korban. Seperti pengalamannya menyaksikan perlawanan dari 2 kelompok yang membuat kelompok Ima berada pada posisi yang sulit. Namun, untungnya saat itu kondisi masih bisa dikontrol dan misi pembebasan terjadi dengan baik.
Sebelum resmi bertugas di medan konflik, Ima mengatakan bahwa ia harus melewati berbagai tes mulai dari tes fisik, kesehatan, mental, menembak hingga mengemudi. Kecakapan lain yang menurutnya sangat membantu adalah pembekalan dalam bidang bahasa asing khususnya Bahasa Prancis yang digunakan di Republik Afrika Tengah dengan bantuan Institut Francais Indonesia dari level A1 sampai B1.
Di sisi lain, Philomene Robin selaku Atase Kerjasama Pendidikan dan Perguruan Tinggi Kedutaan Besar Prancis mengapresiasi talk show ini khususnya karena mengangkat tema Perempuan, Bahasa Prancis, dan Peace Building. “Saya senang dan bangga Bahasa Prancis bisa membantu mewujudkan impian Briptu Ima.” Ujarnya.
Sedangkan, Ginanjar Gailea selaku salah satu koordinator kopi Prancis UII menyampaikan bahwa kerja sama ini terjadi karena Kafe Prancis UII melihat situasi Pandemi sebagai sebuah peluang untuk melakukan kolaborasi. Tema Perempuan, Bahasa Prancis, dan Perdamaian sengaja diangkat karena bertepatan dengan hari Perempuan Internasional dan Pekan Frankoponi (Pekan Bahasa Prancis) yang diperingati setiap bulan Maret. (AP/ESP)