Bedah Pasal Tindak Pidana Korupsi

Perhimpunan Advokat Alumni Universitas Islam Indonesia (HIMPA UII) dari Fakultas Hukum (FH) sukses menyelenggarakan seminar nasional dengan tema “Membedah Pasal Kontroversial Tipikor, Jalan Menuju Hukum yang Berkeadilan” pada (8/02) di Auditorium Lantai 4 Gedung FH UII. Acara seminar ini menjadi aktivitas akademik pertama yang digelar oleh HIMPA UII dan mengundang Prof. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U, Dr. Maqdir Ismail. S.H., LL.M, Dr. H. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum, Dr. Mudzakkir, S.H., M.H, Dr. Yudi Kristiana, S.H., M.H, dan Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H sebagai keynote speaker serta dimoderatori oleh Ramadhan Rizky Baried, S.H., M.H.

Dalam sambutan Dr. M. Arif Setiawan, S.H., M.H sebagai ketua organization committee (OC)  menegaskan HIMPA hadir sebagai jaringan untuk memperkuat sinergitas para advokat alumni UII. Disamping itu, sambutan oleh Ketua Umum HIMPA UII yaitu Dr. Maqdir Ismail. S.H., LL.M., menyampaikan kekhawatirannya akan kehancuran praktik advokat saat ini yang disebabkan oleh tidak tegaknya etik. “Saya tadi sudah sampaikan kepada kawan-kawan pengurus HIMPA UII, yang tidak kita punya sekarang ini akhlakul karimah. Bukan hanya sebagai advokat, tapi juga sebagai manusia,” ucap Maqdir.

Ia juga melanjutkan dengan saling mengingatkan untuk menjadi advokat yang baik itu nantinya akan lahir advokat bermoral yang menjunjung tinggi kehormatan advokat. Harapannya, HIMPA UII akan melahirkan advokat-advokat pejuang, advokat yang bermoralitas dan berintegritas tinggi.

Pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi isu penting di depan mata penegak keadilan. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) harusnya menjadi perlindungan bagi hak asasi manusia namun kini tak terkontrol karena kewenangan oleh para penguasa kejahatan. Diskusi acara seminar nasional berlangsung seputar tentang persiapan KUHAP serta catatan tentang KUHAP terbaru yang akan diberlakukan di tahun 2026

Prof. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U, sebagai pembicara pertama menyoroti tentang goodwill atau kemauan baik dari pemerintah untuk memberantas korupsi. Prof. Mahfud menyampaikan bahwa perbedaan tidak sinergi yang terjadi antara pemerintahan dulu dan saat ini adalah pembentukan peraturan oleh DPR yang berkuasa mengubah undang-undang secara sewenang-wenang. “Akibatnya, saudara tanya lembaga apa aja, semuanya korupsi. Eksekutif tentu sumbernya korupsi. Hampir semuanya korupsi,” Ujar Mahfud dengan lugas.

Sejalan dengan teori Maslow tentang hierarki kebutuhan, Mahfud memberi contoh bahwa orang-orang saat ini lebih takut untuk berbicara mengenai kebenaran karena takut kehilangan pekerjaan. Dengan tegas, Mahfud berkata bahwa kita harus membangun goodwill baru dan bagaimana menyelesaikan situasi ketersanderaan ini.

Selanjutnya, Dr. H. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum sebagai narasumber kedua, membahas penekanan hukum dan pemberantasan korupsi yang merugikan keuangan negara. Dalam penjelasannya, Busyro melampirkan data valid peta koruptor tahun 2004-2019 yang berkaitan dengan praktik pemilu. Hal ini terjadi karena negara semakin lepas dari kontrol masyarakat sipil dan setelah KPK dibombardir melalui UU No. 30 Tahun 2002 mengakibatkan KPK sudah tidak independen. Busyro juga memberikan solusi yaitu advokat bantuan hukum struktural yang dulu diagendakan oleh Prof. Dr. (Iur) H. Adnan Buyung Nasution, S.H.

Peran jaksa dalam mengatasi ketidakpastian hukum dan memperkuat pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi tema selanjutnya yang disampaikan oleh  Dr. Yudi Kristiana, S.H., M.H dalam acara ini. Terkait dengan penghapusan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi, ia berpendapat bahwa negara akan mengalami kerugian.

“Kalau saya melihat ada upaya untuk kemudian menghapus Pasal 2 dan Pasal 3 nanti negara akan kehilangan, karena kita lihat kebocoran APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) itu besar sekali,” ungkap Yudi. Ia memberikan paparan bahwa perbandingan APBN dari tahun ke tahun begitu besar dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) disebutkan beberapa kali mengeluarkan statement bahwa kebocoran yang terjadi lebih dari 30%.

Lebih lanjut, Yudi juga menampilkan data kebocoran APBN yang begitu besar dari tahun ke tahun. Dari 2011 yang hanya Rp.1.229 T menjadi Rp.3.325 T di tahun 2024. Data tersebut hanya uang yang tercover di dalam APBN belum termasuk kerugian negara yang lain. Di akhir penuturannya, Yudi menyinggung bahwa negeri ini hanya membutuhkan orang yang baik, jujur dan cerdas sehingga berani membuat terobosan hukum.

Dr. Maqdir Ismail. S.H., LL.M sebagai narasumber yang selanjutnya membahas tentang tantangan advokat dalam menangani perkara tindak pidana dan kerugian negara. Maqdir memaparkan, bahwa kekacauan pemberantasan korupsi terjadi sejak lahirnya UU No. 3 Tahun 1971.

“Menjadi pikiran kita semua bahwa arah pemberantasan korupsi ini tidak lagi difokuskan pada kerugian keuangan negara tetapi pada penyalahgunaan kewenangan penyalahgunaan jabatan kemudian suap menyuap. Karena ini semua adalah korupsi,” Kata Maqdir menutup sesi diskusi yang dipimpinnya.

Pembicara terakhir, Dr. Mudzakkir, S.H., M.H menyampaikan tentang catatan, kritik dan saran dalam UU Tindak Pidana Korupsi. Beberapa catatan yang diberikan yaitu judul UU Tindak Pidana Korupsi, unsur kerugian keuangan negara, pengaturan delik suap dan gratifikasi, kesalahan dalam bentuk kealpaan diancam dengan pidana yang lebih berat, delik penghalangan penyidikan dapat membentuk sikap unprofesional penyidik, korupsi sebagai hukum pidana khusus atau hukum pidana umum, dan pasal 4 dan 14  UU Tipikor.(NKA/AHR)