Arti Kebahagiaan Bagi Seorang Muslim
Lembaga Dakwah CENTRIS FTI UII menyelenggarakan kajian bertema Kesuksesan Ilmu Dunia Akhirat dengan narasumber Ustadz Muhammad Ridwan Andi Purnomo, Ph.D pada Kamis (15/10). Dalam kajiannya, Ridwan menyampaikan bahwa rumus kebahagiaan berangkat dari pemahaman tauhid yang kita yakini. Ada tiga tauhid yakni tauhid rububiyah, uluhiyah, asma’ wa sifat. Allah SWT mengenalkan zat-zatnya melalui tauhid rububiyah dan uluhiyah.
“Salah satu yang sering kita ucapkan adalah kalimat tahmid allhamdulillahirabilalamin. Allah SWT sebagai Tuhan Semesta Alam tidak akan menelantarkan hambanya dan memudahkan dunia bagi manusia. Tidak mungkin bagi Allah sebagai Sang Pemelihara Alam Semesta maka tidak akan menelantarkan hamba-hambanya”, kata dosen FTI UII itu.
Menurutnya, terkadang ada kekeliruan dalam memahami kebahagiaan hakiki yang telah diberikan Allah. Kebahagiaan bagi sebagian besar manusia diukur dengan banyaknya kekayaan, terlebih manusia di dunia ini dibekali dengan hawa nafsu. Padahal kebahagiaan sangat jauh bila hanya diukur dari kekayaan semata. Kebahagiaan berupa kesehatan, ketenangan hati, kesempatan, dan sebagainya luput dihitung.
Rasulullah SAW bersabda manusia dibekali hati nurani sebagai penentu kebaikan dan keburukan. “Untuk itu kita harus pandai-pandai menjaga hati karena akan berpengaruh ke semuanya. Melapangkan dada adalah salah satu cara untuk mendapatkan ketenangan supaya bisa menerima cahaya iman”, imbuhnya.
Ridwan juga menyinggung kata al-falah atau keberuntungan yang terdapat dalam Surah Al-Mu’minun ayat satu. Di sana disebutkan bahwa beruntunglah orang-orang yang beriman. Keberuntungan tersebut juga bisa ditafsirkan sebagai kebahagiaan dan ketenangan. Sehingga kalau kita ingin mendefinisikan kebahagiaan dari Al-Quran adalah harus memiliki dua unsur yakni kebaikan dan keabadian.
Contohnya ketika kita berumah tangga memiliki anak maka akan bahagia. Namun dibutuhkan perjuangan untuk merawat anak dengan begadang, merelakan diri bekerja keras dan sebagainya. Sehingga di dunia ini yang ada hanyalah kebahagiaan sementara tidak ada yang abadi.
Kebahagiaan hakiki hanyalah di akhirat, maka sebagai orang yang beriman tidak akan menjadikan dunia sebagai tujuan hidupnya. Orang beriman hendaknya berpikir bahwa hidup akan kekal di akhirat dan dunia hanyalah sementara. “Kalau orientasi kebahagiaan di akhirat maka Allah juga pasti akan memberikan sarana kebahagiaan dunia untuk menuju kebahagiaan di akhirat. Jangan sampai kebahagiaan dunia justru memperdaya kan diri dan melalaikan akan kebahagiaan hakiki di akhirat”, pesannya. (HN/ESP)