Arsitek Dituntut Dinamis dan Adaptif

Arsitektur merupakan sebuah ilmu desain bangunan yang menuntut setiap pelakunya bergerak dinamis dan mampu beradaptasi dengan kondisi dan situasi lingkungan sekitar tempat pembangunan. Ketika Pandemi Covid-19 melanda, seorang arsitek dituntut untuk mampu membuat sebuah bangunan yang mampu mengakomodasi kebutuhan pelanggan dalam menerapkan protokol kesehatan Covid-19 maupun upaya yang dilakukan untuk pengobatan pasien di rumah sakit.

Seperti dicontohkan oleh seorang mahasiswa dari Fatih Sultan Mehmed Vakif Universitesi yang mampu mengubah sebuah bangunan tua menjadi rumah dengan fasilitas sirkulasi udara mumpuni untuk menyuplai oksigen bagi para pasien Covid-19 di Turki. Hal ini disampaikan Assoc. Prof. Asli Agirbas, B.Arch., M.Sc., M.SArch., Ph.D., Architecture, seorang arsitek sekaligus akademisi di Fatih Sultan Mehmed Vakif Universitesi dalam rangka kuliah umum pengenalan outline pembelajaran Architectural Design Studio (ADS), yang digelar oleh Program Studi Aristektur UII bekerja sama dengan arsitektur Fatih Sultan Mehmed Vakif Universitesi.

Asli Agirbas menekankan bahwa isu perubahan iklim menjadi salah satu fokus utama yang harus diperhatikan oleh seorang arsitek ketika hendak merancang sebuah bangunan. Sehingga setiap mahasiswa program studi arsitektur di kedua universitas perlu melakukan banyak riset untuk meneliti seperti apa masalah yang terjadi di sebuah tempat dan bagaimana dia merancang bangunan yang mampu beradaptasi dengan kondisi tersebut.

Selain itu, Asli Agirbas juga menekankan bahwa saat ini, bangunan yang ramah lingkungan cukup menjadi trend di berbagai negara walaupun masih sulit untuk mewujudkan bangunan yang benar-benar memiliki konsep eco-friendly.

Dalam kuliah umum ini juga menghadirkan Dr.-Ing. Ir. Ilya Fadjar Maharika, MA., IAI., yang merupakan salah seorang dosen program studi arsitektur UII. Ilya Fadjar menekankan bahwa setiap calon arsitek harus mampu beradaptasi dengan segala macam perubahan yang akan terjadi di masa yang akan datang. Menuritnya sesama arsitek harus memiliki kesepahaman yang baik, sehingga dibutuhkan suatu bahasa universal yang mampu mendorong kerja sama antar aristek, baik dalam skala lokal maupun internasional.

Ilya Fadjar mengatakan bahwa seorang arsitek harus mampu beradaptasi dan menghadapi tantangan yang akan datang. “Sulit menemukan apakah arsitektur di masa depan akan fokus pada isu ramah lingkungan atau tidak. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan sehingga kita sulit untuk memprediksi dan memberikan solusi sejak dini,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa isu emisi karbon yang saat ini terjadi di beberapa wilayah di Indonesia khususnya pulau Kalimantan tidak bisa diselesaikan secara cepat dan instan. Bahkan penggunaan bahan-bahan material lokal yang dianggap lebih ramah lingkungan masih memerlukan pembuktian apakah mampu menjadi solusi yang tepat atau tidak.

Dalam kuliah umum ini kedua narasumber juga menekankan bahwa seorang mahasiswa aristektur harus mampu beradaptasi dan bekerja bersama dalam sebuah kelompok. Hal ini didorong oleh fakta bahwa dalam mengerjakan sebuah proyek, seorang mahasiswa tidak hanya dituntut untuk mengeksplorasi ide dan kemampuan pribadi namun juga didorong untuk saling berdiskusi dan berbagi ide dengan mahasiswa lainnya. Dalam menghadapi perbedaan ide tersebut, mereka harus mampu menyatukan persepsi dan tidak boleh menyelesaikan permasalahan dengan mekanisme voting.

Selain itu, ketika hendak terjun sebagai seorang aristek professional, mereka akan dituntut untuk bekerja sama dengan arsitek lainnya karena terkadang sebuah studio arsitektur memiliki kemampuan terbatas dan hanya bisa menyelesaikan satu pekerjaan. Sedangkan pekerjaan lainnya harus diselesaikan oleh studi yang lain. (AP/RS)