Arsitek dalam Struktur Birokrasi

Arsitek dalam beraktivitas merancang dan menciptakan membutuhkan kepekaan menemukan solusi yang tepat sesuai dengan keadaan. Namun demikian, disinyalir potensi yang dimiliki terkadang belum mendapat ruang dalam kebijakan. Tidak jarang kondisi ini menimbulkan permasalahan tersendiri antara arsitek dengan pemerintah.

Merespon isu tersebut Program Studi Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII) bekerja sama dengan Universitas Islam Nasional Sunan Ampel Surabaya, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) D.I. Yogyakarta, dan Universitas Aisyah Yogyakarta menyelenggarakan Webinar membahas tentang arsitek dalam struktur birokrasi pada Sabtu (13/6), melalui aplikasi telekonferensi Zoom.

Lukya Kumala Sita, S.T., Directorate General of Humas Settlements, Ministry of Public Works and Public Housing, mengatakan bahwa banyak baground arsitek untuk berkerja di pemerintahan, salah satunya di Direktorat Penataan Bangunan. Dalam melakukan tugasnya dan menjalankan pembangunan untuk negeri, diperlukan sinergi yang kuat antara kementrian, arsitektur professional, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Lukya Kumala mengibaratkan permainan sepakbola, sudah ditentukan aturan dan perangkatnya seperti wasit, hakim garis, timer harus ada yang mengontrol. Begitu pula supporternya harus diatur akan hak dan kewajibannya.

Lukya Kumala menjelaskan bahwa pemerintah sudah mempersiapkan regulasi-regulasi untuk para pelaku arsitek dan lainnya, tapi tidak dipungkiri masih ada celah-celah yang mungkin belum tercover seperti tentang pengawasan profesi, sistem audit perusahaannya, atau sistem audit konsultasinya. “Bila regulasi dan perangkatnya sudah mantap, maka pelaku konsumsi lebih professional,” tambahnya.

Galih Jati Utomo, M.Si., Senior Technical Staff at Department of Settlement Spatial Planning and Land Affairs, DKI Jakarta- Jakarta Utara, mengatakan bahwa pengendalian pemanfaatan ruang tidak lepas dari peran arsitek dan aturan-aturan yang terkait dalam kota. Arsitek sebaiknya memberikan manfaat dalam melakukan perancangan bangunan gedung dan lingkungan, pemanfaatan fungsi penataan ruang dan pelestarian sumber daya alam.

Sesuai dengan UU No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, arsitek harus dapat mengakomodasi fungsi kegiatan sosial, ekonomi, budaya sehingga tidak hanya memiliki citra fisik dan keindahan visual yang terencana sebagai bagian dari pemenuhan persyaratan tata bangunan. “Ruang kota sarat dengan konflik kepentingan, maka arsitek bisa jadi jembatan dan fasilitator atas kebutuhan masyarakat dan aturan pemerintah,” ujar Galih Jati.

Di Jakarta Utara sendiri, tahun 2018 tercatat penyebaran surat peringatan sebanyak 562 dan naik menjadi 755 pada tahun 2019. Galih Jati mengajak peserta Webinar untuk melakukan pekerjaannya sesuai dengan aturan pemerintah. Hakikatnya dengan pemantauan, pengawasam dan penertiban, kalau tidak sesuai maka dikenakan sanksi. hal ini sesuai dengan UU No. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.

Galih Jati menjelaskan, sanksi tersebut tidak hanya untuk pelaksananya, melainkan juga bangunan yang dibangun. Pelaku sanksinya dapat penurunan IPTB (Izin Pelaku Teknis Bangunan). Yang perlu diperhatikan dalam melakukan perencanana pembangunan, pertama adalah persyaratan zonasi tentang peruntukan atau guna lahannya, tata bangunan, konfigurasi elemen yang berlangsung dalam ruang publik, dan intensitasnya. Dalam perencanaan dan pemanfaatannya harus mengikuti ketentuan teknis yang berlaku agar terwujud keseharian, keamanan, kenyamanan, dan keselarasan dengan lingkungan.

Lebih lanjut disampaikan Galih Aji sebagai perencana mikro dan dalam lingkungan binaan, arsitek harus mengikuti penyelenggaraan penataan ruang yang bertujuan untuk mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Saatnya arsitek kembali sebagai idealismenya, di mana konsep atau gagasan yang muncul adalah bagian dari solusi yang mengacu pada syarat-syarat suatu rencana dalam konteks pemnanfaatan ruang kota yang berlaku.

Galih Aji menegaskan bahwa pemerintah tidak menghambat arsitek untuk berkarya dan juga tidak mudah dimanfaatkan. “Mentang-mentang kenal, teman sendiri terus menggampangkan. Jadi ya kita ayo diskusi sama-sama membangun bangsa ke depan generasi-generasi millenial visioner. Sebab keterlibatan arsitek itu dari perancangan sampai bangunan itu dibangun, dihuni, dan dibongkar. Jangan sampai kita bertemu di sini (siding yustisi bagi pelanggar IMB),” katanya.

Ar. Anggit Sambodo, sebagai angoota IAI dan Senior Technical Staff at Department of Settlement Spatial Planning and Land Affairs, DKI Jakarta berharap dapat memantik kesadaran para pelaku jasa arsitektur untuk tertib administrasi. Seorang arsitek harus melek akan regulasi. Sebab apa yang suasana kota sekarang rasakan merupakan efek dari rencana di masa lampau, begitupun sekarang bagaimana seorang perencana itu bisa menentukan apakah desainnya itu bisa bertahan sampai lima tahun, 50 tahun, dan mungkin 100 tahun.

“Pemerintah tidak bisa sendiri. Kita punya tiga pelaku, pemerintah sebagai regulator, owner sebagai warga baik institusi atau perseorangan, dan arsitek. Arsitek sebagai tengah-tengah. Harus bisa menjembatani antara owner dengan government,” tandasnya. (SF/RS)