Antisipasi Bangunan Runtuh Akibat Gempa
Seperti halnya pada bulan-bulan sebelumnya, Program Studi Arsitektur Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menggelar webinar secara daring, Jumat (4/9). Webinar seri #2 bulan ini membahas mengenai Rumah Tahan Gempa dengan narasumber Kepala Program Studi Arsitektur UII, Assoc. Prof. Noor Cholis Idham, Ph.D., IAI.
Menurut Noor Cholis bangunan menjadi isu utama yang harus terus dibahas secara berulang-ulang, terutama dalam aspek keselamatan bangunan dan penghuninya. Kerusakan bangunan dapat disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari usia bangunan, kualitas bahan, hingga akibat bencana. “Bangunan mungkin bisa rusak namun penghuninya harus selamat. Kalau kita menghentikan bencana seperti gempa bumi tidak akan mungkin karena itu sudah kehendak yang Kuasa,” katanya.
Upaya penghentian bencana tidak akan bisa dilakukan, sebagai manusia hanya bisa mempersiapkan yang terbaik dalam menghadapinya. Kata Noor Cholis banyak profesi yang dapat terlibat dalam menghadapi bencana, di antaranya arsitektur. Menurutnya arsitek memiliki peran penting dalam perencanaan, desain, pelaksanaan, hingga setelah bangunan dimanfaatkan.
Di sisi lain, ia menyinggung bahwa gempa dapat terjadi akibat struktur bumi yang menjadikan suatu daerah sebagai wilayah rawan gempa. “Maka cukup logis kalau pemerintah memilih ibukota di Kalimantan, sebab Kalimantan pulau mayor yang tidak berada di daerah rawan gempa. Secara teoritik itu aman,” ungkap Noor Cholis.
Lebih jauh, Noor Cholis menjelaskan bahwa gempa dapat menghancurkan bumi karena lima hal, yakni magnitude, hypocenter dan epicenter, kodisi geologi, durasi, dan struktur bangunan. Ia menyampaikan bahwa magnitude merupakan besarnya kekuatan gempa, hypocenter yakni posisi kedalaman, epicenter adalah jarak mendatar lokasi bangunan, sedangkan geologi yakni kondisi tanah apakah keras atau lembek.
“Makin keras tanah makin baik, maki lembek maka akan kemungkinan terjadi goncangan. Durasi gempa ada yang sebentar ada yang lama. Lalu struktur bangunan yang dibuat arsitek juga mempengaruhi gempa,” tambahnya.
Noor Cholis menuturkan bahwa rules seorang arsitek dalam menghadapi gempa terdiri atas perencanaan, pemrograman, desain, konstruksi, hunian, dan penggunaan kembali adaptif. Perencanaan dimulai dari pemilihan area atau tanah, pemrograman dilakukan untuk memastikan apakah semua yang telah direncanakan dapat berfungsi, sedangkan desain berupa pemilihan model atau struktu bangunan.
“Arsitek juga wajib memastikan kualitas kontruksi selama di lapangan. Dalam hal hunian dapat memilih furniture yang sesuai. Lalu penggunaan adaptif seperti memanfaatkan bangunan lama yang direnovasi menjadi bangunan baru,” tambahnya.
Ia menyebut gempa yang sering membuat bangunan roboh adalah gempa dangkal dengan frekuensi tinggi. Sedangkan gempa dalam berfrekuensi rendah maka energi akan hilang atau berkurang ketika sampai ke permukaan bumi. Sehingga menurutnya secara teoritis bangunan pencakar langit lebih aman daripada bangunan rendah. “Justru kita harus lebih fokus kepada bangunan rendah,” tegasnya.
Tidak lupa Noor Cholis menampilkan beberapa contoh bangunan yang rawan runtuh. Di antaranya bangunan struktur kayu dan bangunan batubata tanpa penguat atau tiang. “Bangunan rendah dengan material masif atau kaku jika terkena gempa dangkal frekuensi tinggi meskipun tidak besar maka ia akan runtuh. Perumpamaan ini juga terjadi dengan bangunan skala tinggi seperti bangunan satu dua lantai secara teoritis lebih tidak aman daripada bangunan pencakar langit,” ungkap Noor Cholis.
Di akhir sesi, Noor Cholis menyatakan bahwa bangunan penunjang gempa adalah bangunan yang kokoh dan kuat. Dalam hal keselamatan desain gempa maka dimensi dan separasi yang menjadi kunci utamanya. Selain itu ia berpesan bahwa arsitek menjadi profesi yang bertanggung jawab dari awal hingga akhir pembangunan. “Jadi arsitek harus menyadari sifat gempa yang harus dihadapi dan bencana dapat dihilangkan dalam setiap langkah siklus bangunan,” tutup Noor Cholis. (SF/RS)