Anomali Penanganan Kasus Novel Baswedan
Kasus yang menimpa Novel Baswedan menyita perhatian publik. Novel Baswedan sebagai penyidik senior di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapatkan serangan berupa air keras hingga membuat matanya tidak lagi berfungsi secara normal. Banyak publik menduga bahwa serangan tersebut tidak terlepas dari sepak terjang Novel Baswedan dalam pemberantasan korupsi. Ia kerap kali terlibat dalam penanganan kasus-kasus besar di Indonesia. Sebagian besar masyarakat dari kalangan aktivis, akademisi, praktisi hukum turut menyoroti kasus ini karena dinilai terdapat beberapa kejanggalan dalam pengungkapan kasusnya. Untuk mengulas lebih jauh, belum lama ini Pusat Studi Kejahatan Ekonomi dan Departemen Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan diskusi melalui zoom meeting.
Dekan Fakultas Hukum UII, Dr. Abdul Jamil S.H., M.H., mengatakan bahwa kasus penanganan air keras Novel Baswedan ini sangatlah ringan dengan hukuman hanya satu tahun dibandingkan dengan keputusan jaksa terhadap kasus penyiraman air keras yang dialami oleh orang lain. Kebanyakan orang yang disiram air keras dapat meninggal, namun Novel Baswedan diberi kekuatan dalam melewati rasa sakitnya. Kendati demikian dalam pegungkapan kasus yang dialaminya tidak semudah yang dibayangkan.
Prof. Dr. Rusli Muhammad, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UII, mengungkapkan bahwa kasus tindak pidana yang menimpa Novel Baswedan menjadi kasus yang sangat serius. Kehilangan salah satu matanya tidaklah sebanding dengan penjara satu tahun para terdakwa. Publik khawatir, jika kedua pelaku bukan pelaku sesungguhnya atau ada upaya sistematis untuk menutup kasus hanya sampai kedua pelaku tersebut sehingga tidak sampai pada faktor intelektualnya.
Andi Muhammad Rezaldi, Kontras Tim Advokasi Kasus Novel Baswedan mengatakan bahwa terdapat banyak kejanggalan dalam kasus Novel Baswedan, salah satunya adalah tuntutan Jaksa Penuntut Umum kepada kedua pelaku yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, yang hanya dipidana penjara selama satu tahun dianggap terlalu rendah dan tidak berpihak kepada korban. Penyusunan dakwaan seharusnya sesuai dengan fakta-fakta yang diterima dari kepolisian. Jika runut ke belakang dari proses penyelidikan menurut Andi Muhammad Rezaldi terdapat yang aneh. “Dalam komisi penanganan hak asasi manusia misalnya menemukan adanya indikasi penyalahgunaan proses yang dilakukan oleh pihak Metro Jaya serta institusi yang ada di bawahnya,” katanya.
Kejanggalan tersebut diungkapkan Andi Muhammad Rezaldi berupa observasi yang dilakukan pihak kepolisian tidak cukup untuk memetakan saksi kunci dan barang bukti penting, terbatasnya dan minimnya penyidikan keberadaan orang-orang asing yang sebelum kejadian melakukan pengamatan dan pengintaian terhadap Novel Baswedan, terdapatnya pemeriksaan dan tidak ada penyitaan ponsel genggam orang asing sebelum dan setelah kejadian, serta tidak berhasil mengungkap nomor-nomor di sekitar Novel Baswedan untuk mengurai faktor-faktor penyebab adanya kasus ini. “Jaksa semestinya mendakwa dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana sebab penyiraman air keras dapat berpotensi kematian. Pak Novel juga sempat cerita sulit bernafas waktu kejadian,” jelasnya.
Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch sekaligus Anggota Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana, juga mempertanyakan keadilan dalam kasus penyiraman air keras sebab dirinya merasa terdapat permainan di dalam penanganan kasus tersebut. Kurnia Ramadhana memetakan persidangan kasus air keras ke dalam tiga persoalan krusial.
Pertama, konstruksi dakwaan jaksa mengarah agar terdakwa dijatuhi hukuman ringan. Dimana terdakwa hanya dikenai pasal-pasal KUHP tentang penganiayaan, padahal menurutnya kasus Novel Baswedan dapat dipandang sebagai percobaan pembunuhan berencana yang hukumannya dapat mencapai 15 tahun penjara. Kedua, jaksa terlihat lebih membela kepada terdakwa. Ketiga, proses unjuk barang bukti di persidangan berupaya menafikan barang bukti dan saksi penting, misal botol untuk menampung air keras tidak ada dalam persidangan dan soal baju sobekan milik Novel Baswedan. “Padahal Pak Novel sudah mengaku bahwa baju gamisnya tidak sobek masih keadaan baik,” ungkap Kurnia Ramadhana.
Kurnia Ramadhana menceritakan bahwa istana negara pernah menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo tidak bisa mengintervensi perkara penyiraman air keras yang dialami Novel Baswedan. Hal tersebut, dianggap logikanya keliru oleh Kurnia Ramadhana. Sebab seorang presiden merupakan pimpinan negara yang harus melindungi rakyatnya dari ketidakadilan, terlebih banyak kejanggalan dalam kasus ini. Kepala negara seharusnya menciptakan para penegak hukum yang professional dengan menjaga ritme penegak hukum yang independen dan dipercayai publik. “Pak Jokowi kan bisa melakukan tindakan dengan mengevaluasi kinerja Jaksa Agung dan Kapolri karena mereka bawahan Presiden,” jelasnya. (SF/RS)