Anak-Anak Muslim Membutuhkan Tayangan Islami yang Mendidik
Saat ini keberadaan tayangan yang mendidik bagi anak-anak semakin berkurang. Apalagi tayangan bertemakan keislaman yang mengajarkan dasar-dasar Islam bagi anak-anak. Tayangan di televisi maupun media sosial seakan mengajari anak-anak bertingkah seperti orang dewasa. Padahal tayangan televisi atau medsos seharusnya memberikan pemahaman yang mendidik sesuai dengan tingkat kebutuhan anak.
Hal inilah yang diketengahkan dalam Safari Iman Ramadan 1440 H Universitas Islam Indonesia (UII) dengan mengangkat kajian Islamic Movie Studio yang bertemakan “Kebangkitan Animasi Islam Media Kreatif Pemersatu Umat”. Kajian yang diadakan pada Sabtu (11/5) itu menghadirkan Mario Irwinsyah (Artis Hijrah & Penggagas Animasi Nussa Rara) di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir UII.
Mario Irwinsyah mengatakan saat ini keberadaan tayangan yang memberikan pemahaman keislaman kepada anak-anak sangat kurang. Apalagi jika idola anak-anak bukanlah Rasulullah melainkan Pahlawan dalam film Avangers atau tayangan yang lain. Ketika anak-anak Muslim memberi tanggapan jika ditanya tentang siapa idolanya maka jawabannya bukanlah Rasulullah, melainkan tokoh superhero fiktif tersebut.
“Bukan hanya mengenai tayangan anak-anak, tayangan yang bertemakan keislaman di TV sudah berkurang. Padahal sebenarnya referensi-referensi untuk membuat hal tersebut telah ada tergantung bagaimana menghadirkan nuansa yang disukai anak-anak”, jelasnya.
Sebagai contoh ketika tokoh Islam, Muhammaf al-Fatih bertanya kepada gurunya tentang siapakah orang yang akan menaklukan kota Konstantinopel, sang guru menjawab itu adalah dirinya. Penuturan tersebut turut membuat sang tokoh termotivasi hingga ketika dewasa ia pun berhasil menaklukkan kota tersebut.
Mario Irwinsyah juga mengatakan bahwa referensi adalah hal yang penting dalam membangkitkan animasi Islam. Menurutnya prinsip Islam harus ditegakkan dalam berbagai kegiatan sehingga dapat selaras antara referensi yang diberikan dan tingkah laku animatornya.
“Dalam menciptakan tayangan bagi anak-anak, yang bisa diubah itu polanya bukan sistemnya yang dirusak”, pungkasnya. (ANR/ESP)