Aktivis Sosial dalam Karir Masa Depan
Head of Marketing Lemonilo Irfan Prabowo menjadi narasumber dalam webinar bertajuk “Aktivis Sosial Dalam Karir Masa Depan” yang digelar sebagai rangkaian dari kegiatan Student Festival Universitas Islam Indonesia (StuFest UII) 2021 pada Jumat (12/11). StuFest UII merupakan pekan gembira bagi mahasiswa UII dalam rangka mengapresiasi karya mahasiswa baik bidang akademik maupun non akademik.
Fanbul sapaan akrap Irfan Prabowo, menceritakan perjalanan awalnya mulai menjadi aktivis sosial ketika Gunung Merapi meletus pada tahun 2010. Baginya itu merupakan titik balik kehidupan dari seseorang yang pernah di drop-out sekolah sebanyak 3 kali karena suka tawuran.
“Saya waktu itu menggali tanah untuk membuat toilet umum,” ujar Fanbul sambil mengenang pertama kali menyadari bahwa ternyata dirinya memiliki value. Sebagai seorang mahasiswa yang belum memiliki penghasilan waktu itu, ia memilih menyumbangkan waktu dan tenaganya.
Perjalanan sosialnya tak berhenti di sana. Pada tahun 2012, ia mulai bergabung di berbagai komunitas sosial. Hingga akhirnya pada tahun 2013 berhasil membentuk komunitas sendiri bernama “Saung Mimpi”. Puncaknya adalah pada tahun 2014 membentuk Forum Jogja Peduli untuk mengumpulkan seluruh komunitas sosial di Jogja.
“Concern kami saat itu adalah mencari solusi agar komunitas sosial bisa bergerak bersama dan memberi dampak yang lebih sustain,” jelasnya.
Melakukan aktivitas sosial membuat Fanbul merasa ketagihan, hingga pada tahun 2014 ia ingin memberikan beasiswa pada salah satu anak laki-laki bernama Akas di kaki Gunung Bromo. “Dipanggil Akas karena dia bermimpi untuk naik bus akas ke provinsi,” kata Fanbul sambil tertawa.
Ibarat Lintang di Film Laskar Pelangi, Akas adalah sosok penggerak di desanya melalui karya seni. Hal tersebut menggugah hati Fanbul hingga mengumpulkan donasi dari Jogja untuk membiayai sekolah SMA bahkan sampai kuliah Akas.
Awalnya Fanbul berekspektasi niat baik hatinya akan disambut dengan hati gembira. Namun, justru Ibu Akas menangis dan melarang buah hatinya untuk bersekolah dan membantu keluarganya untuk mencari uang. Setelah empat hari bermediasi namun tetap tidak mengubah keputusan keluarga Akas untuk melarangnya pergi ke sekolah. “Saat itu saya pulang dengan perasaan sedih, kecewa, dan marah,” katanya.
Namun, di tengah perjalanan pulang Fanbul baru menyadari bahwa ia yang saat itu seorang mahasiswa dengan privilege lebih dari orang lain ternyata belum tentu bisa memberikan solusi yang tepat bagi permasalahan di tengah masyarakat. Ia menyadari bahwa masalah pendidikan, ekonomi, dan women empowerment.
“Orang tidak mungkin memikirkan mengantarkan anaknya ke sekolah, jika urusan perutnya belum selesai,” katanya.
Fanbul berpesan kepada mahasiswa untuk tidak hanya berfokus mengatur waktu, namun mengatur energi. Istirahat yang cukup dan set goal tujuan hidup kita. Miliki hobi untuk mengharmonisasi kehidupan kita sebagai manusia. (UAH/RS)