Akselerasi Pengembangan Bank Syariah
Beberapa waktu lalu, kabar mengenai mergernya tiga bank raksasa BUMN hangat diperbincangkan publik. Ketiga bank itu adalah Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah. Ketiganya dilebur menjadi satu menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI). Peleburan tersebut diharapkan dapat lebih memperluas jangkauan pasar dari bank syariah yang ada di Indonesia.
Merujuk hal tersebut, Islamic Economy Study Club (IESC) Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE UII) mengadakan diskusi dengan tajuk Mengulik Arah Pengembangan Bank Syariah pada Sabtu (26/6). Faisal Basri yang merupakan Ekonomi Indef dihadirkan untuk mengisi agenda tersebut.
Pandemi dianggap sebagai suatu hal yang membuka “kotak pandora”. Dengan adanya pandemi, struktur ekonomi Indonesia benar-benar jatuh dan semakin rapuh. Pertumbuhan produktivitas yang ada juga diklaim semakin melambat bahkan mengalami penurunan. Melalui pandemi ini juga mayoritas penduduk masih tergolong insecure dan ketimpangan cenderung meningkat. “Belakangan ini yang kaya semakin kaya, sementara saudara kita di kelompok menengah bawah berjibaku untuk bertahan,” tandas Faisal.
Momentum akselerasi ketika pandemi dianggap dapat menggenjot kinerja bank syariah. Faisal menilai, peranan bank syariah cenderung masih relatif sangat rendah. Hal tersebut terbukti dari data yang dijabarkan Per November 2020, aset total bank syariah sebesar Rp592 triliun sementara di sisi lain aset bank konvensional sebesar Rp9.053 triliun. Pangsa aset yang ada juga sekitar 6,5 persen. “Itu pun belum syariah sepenuhnya,” ujarnya.
Pertengahan waktu lalu Bank Indonesia tengah menurunkan suku bunga nya ke angka 3,5 persen. Ini dianggap sebagai kesempatan emas bagi bank syariah untuk dapat mengais momentum. “Karena bank syariah itu menawarkan konsep yang tidak mengutamakan suku bunga, dan berpegang teguh atas nilai syariah,” ucapnya.
Yang menjadi pembeda antara bank konvensional dibanding dengan non konvensional adalah bertumpu pada prinsip dasar. Bank syariah lebih menjunjung tinggi keadilan, mengenyahkan eksploitasi, memajukan kegiatan produktif yang memberikan maslahat bagi umat banyak, dan mengedepankan semangat pembaruan. “Perbankan syariah tentu lebih memajukan kegiatan produktif, dan bank syariah juga tentu harus selalu berinovasi dan berorientasi jauh ke depan,” tutur Faisal.
Prinsip dasar yang dipegang oleh bank syariah itu juga mampu melahirkan keseimbangan. Lebih jauh, keunggulan prinsip bank syariah lebih mengutamakan prospek usaha dibandingkan agunan. Untuk mewujudkan potensi itu, bank syariah ke depan dinilai membutuhkan analis kredit yang andal dengan bekal pemahaman yang mendalam atas sektor-sektor usaha yang menjadi prioritas. “Jadi, dengan itu bank syariah tidak asal ngasih pinjaman nantinya,” tandas Faisal.
Faisal mengemukakan, Bank syariah juga ke depan dinilai butuh untuk memberikan/menyediakan bimbingan teknis untuk menguatkan peluang usaha untuk lebih memacu produktivitas dan daya saing. Bank juga tentu mempunya kepentingan untuk tetap memperhatikan para nasabah/perusahaannya. “Tidak sekadar memberikan pinjaman, hal itu agar bisnisnya makin lancar. Karena semakin lancar bisnisnya, perusahaan itu semakin sehat dan mampu memberikan untung besar, juga memberikan bagi hasil lebih tinggi,” kilahnya
Seperti yang telah dijabarkan di atas, Bank Syariah itu mampu memberikan keseimbangan. Islam juga menganjurkan untuk tetap beraktivitas dengan tidak melupakan bumi. Gagasan mengenai green economy seharusnya itu datang dari umat Islam. Itu tentu menjadi sebuah tantangan bagi generasi mendatang. Selain itu, Bank Syariah juga harus lebih dekat ke masyarakat. Semisal dengan membiayai usaha-usaha mikro yang terpukul akibat pandemi Covid-19.
Faisal mencontohkan, hal tersebut bisa dimulai dari membiayai sektor-sektor kecil seperti para pedagang kopi asongan dengan memberikan insentif lebih untuk mengembangkan usahanya. (KR/RS)