Akademisi FH UII Sikapi Penggantian Hakim Mahkamah Konstitusi
Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menyelenggarakan konferensi pers untuk memberikan sikap akademik terhadap penggantian Hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Acara ini menghadirkan Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. (Guru Besar HTN dan Dewan Penasihat PSHK FH UII), Dr. Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H. (Dewan Penasihat PSHK dan Dosen HTN FH UII), Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M. (Dosen HTN FH UII) dan Eko Riyadi, S.H., M.H. (Direktur Pusham UII dan Dosen FH UII) pada Kamis (06/10).
Penggantian Hakim MK yang disahkan DPR dalam Rapat Paripurna pada Kamis, 29 September 2022 lalu, di mana sebelumnya yang menjabat Prof. Aswanto digantikan oleh Sekretaris Jenderal MK, Prof. Guntur Hamzah. Hal tersebut ditanggapi oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII, PSHK FH UII, Departemen HTN FH UII, PK2SP UMY dan dengan memberikan sikap akademik berupa 3 tuntutan antara lain :
- DPR membatalkan pencopotan Prof. Aswanto sekaligus menganulir pengangkatan Prof. Guntur Hamzah menjadi Hakim Konstitusi.
- Jika DPR tetap bersikukuh dengan sikapnya, Presiden harus menganulir pengangkatan Prof. Guntur Hamzah dengan tidak menerbitkan/menolak mengeluarkan Keppres Pemberhentian Prof. Aswanto sebagai Hakim Konstitusi dan Keppres Pengangkatan Prof. Guntur Hamzah menjadi Hakim Konstitusi.
- Dalam jangka panjang, masing-masing lembaga baik DPR, Pemerintah dan MA perlu merumuskan model serta format seleksi Hakim Konstitusi sesuai prinsip transparansi, partisipatif, objektif dan akuntabel sesuai yang telah diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Mekanisme penggantian Hakim MK seharusnya dilakukan secara transparan, partisipatif, objektif dan akuntabel sesuai dengan Pasal 19 dan Pasal 20 ayat (2) UU MK. Kewenangan DPR untuk memilih calon hakim MK bukanlah kewenangan mutlak yang tidak terikat pada asas dan norma perundang-undangan. Proses pemberhentian Prof. Aswanto dan pengangkatan Prof. Guntur Hamzah telah mencederai prinsip dan mekanisme pemilihan hakim MK.
Prof. Dr. Ni’matul Huda menyebutkan bahwa proses penggantian jabatan harus terdapat alasan yang jelas karena pemberhentian tanpa alasan yang jelas menimbulkan image negatif terhadap yang bersangkutan. Ia menilai pengangkatan Prof. Guntur Hamzah menjadi Hakim MK tanpa melalui proses seleksi telah menghilangkan ruang bagi publik dalam memberikan masukan terkait rekam jejak dan publik tidak memiliki akses terhadap gagasan-gagasan terkait masa depan kelembagaan MK.
“Kami mengambil sikap merespon oleh apa yang terjadi dalam konteks ketatanegaraan harus kita sampaikan ke publik bahwa kami mempunyai kepedulian terhadap masa depan MK”, tambahnya.
Sementara itu, Dr. Sri Hastuti Puspitasari menyampaikan bahwa di dalam konstitusi DPR memiliki kewenangan mengusulkan 3 Hakim Konstitusi namun dalam mengusulkan DPR tidak serta merta memiliki kewenangan untuk memberhentikan Hakim Konstitusi. Ia menyatakan bahwa dilakukannya kekuasaan yang meluas oleh DPR sehingga adanya pencopotan Prof. Aswanto secara tiba-tiba tanpa memberikan alasan kepada publik. Hal ini menjadikan publik menilai bahwa ada muatan politis yang begitu besar dibalik pemberhentian Prof. Aswanto menjadi Hakim Konstitusi.
Terakhir, Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M. menegaskan bahwa sikap DPR dalam pencopotan Prof. Aswanto adalah tindakan di luar batas konstitusional UUD 1945 sehingga tidak layak untuk diteruskan dan harus dianggap tidak benar. (FHC/ESP)