Agar Kuliah Daring Tidak ‘Garing’
Setiap ada kemauan pasti ada jalan dan setiap ada kesulitan pasti ada kemudahan. Begitulah motto yang kita kenal selama ini. Pandemi Covid-19 turut memberikan dampak bagi dosen dan mahasiswa seperti harus menjalankan aktivitas perkuliahan tanpa tatap muka. Meskipun tidak dapat berjumpa di ruang kelas maupun laboratorium, sejatinya dosen dan mahasiswa dapat memanfaatkan momen ini untuk meningkatkan kreativitas.
Harus diakui pembelajaran daring tidak seleluasa pembelajaran tatap muka di kelas. Terdapat sisi humanisme yang sedikit hilang dengan pembelajaran yang terpisah oleh jarak dan waktu. “Yang jelas kuliah daring ternyata membutuhkan lebih banyak energi dan kreativitas, mulai dari persiapan, pelaksanaan hingga pasca pembelajarannya,” tutur dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Dr. Subhan Afifi, M.Si., saat diwawancara Humas UII belum lama ini melalui pesan tertulis secara daring.
Subhan Afifi bercerita dalam mempersiapkan kuliah daring. Ia melihat kembali silabus dan rencana pembelajaran yang sudah ditetapkan Program Studi. Termasuk memperhatikan Capaian Pembelajaran Lulusan (CPL) dan Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK) yang diturunkan dalam setiap pertemuan. Perencanaan desain pembelajarannya, Subhan Afifi memilih desain yang sederhana untuk mengindari distress mahasiswa. Banyak mahasiswa mengeluh kewalahan dengan banyaknya tugas dari semua mata kuliah, dan beban biaya koneksi internet yang dipastikan melonjak.
Menurutnya, prinsip pembelajaran daring harus mencapai tujuan pembelajaran walau terdapat kendala berbagai keterbatasan. “Ketika persiapan, berbagai upaya dilakukan, mulai dari membuat materi pembelajaran dalam bentuk slide power point, video, podcast, maupun mencari referensi dan sumber belajar relevan di internet,” tambahnya.
Ketika pelaksanaannya, Subhan Afifi memilih mode pembelajaran daring yang simple dan sebisa mungkin variatif. Bergantian ataupun gabungan antara mode belajar yang sifatnya synchronous (sikron: satu waktu, beda tempat) dan asynchronous (asinkron: beda waktu, beda tempat). Aplikasinya memanfaatkan fasilitas pembelajaran yang telah disediakan UII seperti Google Class Room dan Zoom. Dipadukan juga dengan media sosial populer yang banyak digunakan mahasiswa seperti: Youtube, Instagram dan Spotify.
Agar tidak bosan dan garing, berbagai variasi dan sumber belajar disajikan. Di lain waktu sesuai dengan kebutuhan, Subhan Afifi menggunakan aplikasi video conferencing Zoom. Terkadang ia juga memilih menggunakan materi pembelajaran berbasis audio, dengan memanfaatkan aplikasi podcast seperti spotify.
Tugas akhir kuliah karena situasi seperti ini diubah dengan format yang lebih simple dan memiliki manfaat yang luas. Misalnya untuk mata kuliah Komunikasi Antarbudaya, selain belajar berbagai teori dan konsep, mahasiswa diberikan tugas untuk merancang dan mengeksekusi social campaign melalui media sosial dengan pendekatan komunikasi antar budaya untuk melakukan edukasi kepada masyarakat terkait pandemi Covid-19. Mahasiswa diajak untuk turun tangan berbuat sesuatu, mengasah rasa empati dan kepedulian di tengah kesusahan bersama.
Agar semangat belajar dalam masa sulit ini tetap terjaga, di awal atau di tengah pertemuan, Subhan Afifi menyisipkan pembelaharan dengan materi motivasi dalam bentuk video, audio maupun teks. Termasuk materi berupa penguatan akidah, ibadah dan akhlaq mulia. Materinya bisa diproduksi sendiri dan diupload di youtube atau spotify, bisa juga dengan mencari beragam video ataupun podcast relevan yang tersedia sangat banyak di internet. “Sisi spiritualitas harus terus diasah mengiringi aspek intelektualitas dan keterampilan, sebagai bekal kehidupan yang sejati,” tulisnya.
Menurutnya, pasca pembelajaran juga membutuhkan waktu dan energi ekstra. Membaca, mengoreksi dan memberi feedback pada berbagai tulisan dan karya mahasiswa butuh perhatian khusus. Ada tugas atau tulisan yang bisa diberikan umpan balik langsung satu per satu, tapi ada yang sifatnya evaluasi bersama yang berlaku umum, disampaikan pertemuan online berikutnya. Harapannya mahasiswa bisa mendapatkan hasil dan masukan sepadan dengan usaha yang telah dilakukan.
Prinsip ini juga berlaku dalam memberikan nilai akhir mahasiswa. Setiap usaha dihargai, setiap karya diapresiasi, hingga secara akumulatif menghasilkan score nilai yang sejarahnya bisa dicek secara transparan. “Terpenting, mahasiswa memperoleh pelajaran bermakna untuk kehidupan dari setiap pembelajaran yang dijalaninya. Termasuk pembelajaran daring yang (harapannya) tak garing di era pandemi,” tutup Subhan Afifi. (SF/RS)