PSAD UII Selenggarakan Sekolah Demokrasi dan Keberagaman
Agama memiliki peran yang penting dalam menciptakan kerukunan sosial. Namun demikian, agama dan demokrasi dikenal tidak senantiasa memiliki hubungan yang harmonis. Guna mendiskusikan hal tersebut, Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar School of Democracy and Diversity (Sekolah Demokrasi dan Keberagaman) pada Jumat (27/12) di Hotel MM UGM.
Sekolah ini ditujukan untuk membangun kesadaran demokrasi bagi kalangan aktivis mahasiswa. Dilaksanakan pada Jumat-Ahad, (27-29/12), acara diikuti oleh 25 peserta dari 5 perguruan tinggi di Yogyakarta, yakni UII, Universitas Gadjah Mada, UIN Sunan Kalijaga, Universitas Teknologi Yogyakarta, serta Universitas Cendekia Mitra Indonesia.
Acara dibuka langsung oleh Wakil Ketua PSAD UII, Dr. Rokhedi Priyo Santoso, S.E., MIDEc. Ia menjelaskan bahwa Sekolah Demokrasi dan Keberagaman melengkapi agenda-agenda yang sebelumnya telah diinisiasi oleh PSAD sejak didirikan pada Mei 2024. Di antaranya, seperti Srawung Demokrasi, Diskusi Online, dan sebagainya.
“Selain itu juga ada bagaimana kita berkontribusi atau mungkin berpartisipasi dalam advokasi. Atau mungkin gerakan-gerakan moral yang selama ini mungkin kita tahu kemarin kita sempat turun ke jalan,” jelasnya.
Para peserta sekolah diseleksi dari sekitar 250 pendaftar. Pelaksanaan kegiatan dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran demokrasi dan nalar kritis dalam konteks keberagaman di Indonesia. Sehingga, diharapkan para peserta dapat mengambil peran dengan berkontribusi setelah menyelesaikan program.
“Alhamdulillah pada kesempatan tiga hari ke depan nanti banyak sekali tokoh dan juga banyak sekali penggerak, kehadiran penegak demokrasi Indonesia, itu akan memberikan sharing-nya atau memberikan inspirasinya kepada kita semuanya. Dan diharapkan nanti itu teman-teman bisa mengambil pelajaran,” terangnya.
Demokrasi, Sistem Terbaik di Antara yang Terburuk
Di antara berbagai sistem pemerintahan dalam sejarah dunia, seperti monarki, hingga aristokrasi, demokrasi dinilai sebagai sistem terbaik di antara yang terburuk. Hal demikian disampaikan Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U., Guru Besar Fakultas Hukum (FH) UII sekaligus Dewan Penasihat PSAD UII, dalam sesi bertajuk “Demokrasi dan Keberagaman: Sebuah Pengantar.”
“Demokrasi itu adalah semacam the best among the worst. Yang terbaik dari yang semuanya jelek, termasuk demokrasi itu jelek, tetapi dia yang terbaik dari berbagai bentuk yang ada. Ini yg kemudian kalau kita baru belajar ilmu politik, atau pengantar ilmu negara kalau di fakultas hukum, itu memang diajari teori ini. Bahwa negara itu ada macam-macam bentuknya,” jelas Prof. Mahfud.
Salah satu keunggulan demokrasi ialah aspek kontrol terhadap kekuasaan. Kelebihan ini dapat dilihat jika demokrasi dibandingkan dengan sistem pemerintahan lain, seperti monarki ataupun khilafah, yang kualitasnya sangat bergantung pada individu pemimpin. Misalnya, di samping khalifah yang baik semisal Umar bin Abdul Aziz dan Harun al-Rasyid, terdapat pula khalifah yang jahat dan membunuh para ulama.
“Dan kesewenangan banyak terjadi. Imam Ahmad bin Hanbal itu dipenjarakan karena beda pendapat dengan penguasa. Itu khilafah, dan tidak ada kontrol pengadilan. Kontrol masyarakat tidak ada. Tapi kalau dalam demokrasi, itu baiknya itu ada peran dan tanggung jawab rakyat. Di dalam demokrasi itu, rakyat menjadi pengendali alat negara,” terang Prof. Mahfud.
Walaupun diklaim sebagai sistem terbaik dibandingkan yang lain, lanjut Prof. Mahfud, demokrasi disebut tetap memiliki kelemahannya. Misalnya, demokrasi berpotensi menimbulkan massa liar yang dapat memicu kerusuhan, suara politik masyarakat awam yang rentan diperjualbelikan, hingga kemunculan demagog dalam demokrasi.
“Demokrasi itu tidak melahirkan pemimpin yang baik karena rakyat awam itu memilih berdasar imbalan, bukan berdasar idealisme politik. Oleh sebab itu, kata Aristoteles, ya kalau di demokrasi itu ada demagog. Muncul banyak demagog. Ini semuanya di Indonesia massa liar, kan sering kita lihat, tiba-tiba ada kerusuhan. Rakyat awam kan suaranya sekarang dijualbelikan, asal dikasih sembako, asal dikasih uang. Lalu pembicara-pembicara, tokoh-tokoh politik yang dusta,” ungkap Prof. Mahfud.
Negara Demokrasi Merawat Kebersatuan
Soal keberagaman, Prof. Mahfud juga menilai bahwa demokrasi identik dengan konteks negara bangsa, yakni negara yang bersatu dalam ikatan kebangsaan. Terdapat lima unsur primordial yang dijaga oleh negara demokrasi, yakni agama, ras, suku, daerah, serta bahasa. Dalam konteks ini, demokrasi menjadi sistem yang merawat kebersatuan.
“Yang dinilai paling ketat mengelola keberagaman itu adalah demokrasi itu tadi. Demokrasi itu adalah mempersatukan keberagaman primordial itu. Kemudian sesudah mempersatukan keberagaman primordial itu, lalu dia olah. Semua orang dilindungi haknya. Banyak kan, kepentingan orang kan berbeda, kepentingan tiap primordial berbeda, diadu secara demokrasi. Dibentuk lembaga perwakilan,” tuturnya.
Menurut Prof. Mahfud, terdapat tiga kunci penting dalam negara demokrasi yang harus diperhatikan. Pertama, ialah kesadaran tentang pluralitas bahwa tidak ada satu negara yang tunggal, sebab di dalamnya terdapat identitas primordial yang beragam. Pluralitas pada akhirnya berujung ke pluralisme.
“Kesadaran tentang pluralitas ini yang menimbulkan pluralisme. Pluralisme itu bukan paham bahwa, misalnya kalau dikaitkan agama, semua agama itu benar. Tidak. Pluralisme itu mengatakan bahwa setiap orang itu berhak menganut agama. Dan setiap agama yang dianut, meskipun berbeda, itu harus dihormati karena itu keyakinan dia. Tidak pakai minoritas, mayoritas,” ujarnya.
Kedua, yakni kesamaan kedudukan bagi setiap warga negara. Kesamaan di hadapan hukum tersebut memunculkan keadilan berdasarkan proporsinya. Adapun kunci yang ketiga adalah supremasi hukum. Soal ini, Prof. Mahfud menjelaskan soal dilema antara demokrasi dan integrasi yang sempat diungkapkan oleh Clifford Geertz.
Menurutnya, demokrasi menghendaki agar orang itu bebas dan memiliki kesamaan kedudukan. Di antaranya, seperti kebebasan dalam mengemukakan pendapat, beraspirasi, berorganisasi, berkumpul, hingga berserikat, baik secara lisan maupun tulisan.
“Tetapi terkadang, kebebasan itu menimbulkan anarki, lebih-lebih zaman sekarang itu zaman medsos, oleh sebab itu, tugas negara, keperluan kita sekarang ini adalah bagaimana membangun demokrasi itu tanpa merusak integrasi, tapi juga menegakkan integrasi tanpa merusak demokrasi, keseimbangan,” pungkas Prof. Mahfud. (JRM)