, ,

Jumlah Profesor di UII Kembali Bertambah

Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menegaskan komitmennya dalam meningkatkan kualitas akademik dan riset dengan menambah jumlah profesor. Kali ini, dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FEB) UII, Dr. Drs. Unggul Priyadi, M.Si., menerima Surat Keputusan Kenaikan Jabatan Akademik Profesor dalam bidang Ilmu Ekonomi Kelembagaan. Dengan bertambahnya profesor baru ini, UII telah melahirkan sejumlah 49 Profesor, dan saat ini yang aktif sejumlah 45 Profesor.

Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI tersebut disampaikan langsung oleh Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah V, Prof. Setyabudi Indartono, M.M., Ph.D., kepada Rektor UII, Fathul Wahid yang kemudian menyerahkannya kepada profesor baru UII. Acara yang digelar pada Rabu (6/11) di Gedung Sardjito UII ini turut dihadiri oleh wakil rektor, dekan, serta para pimpinan di lingkungan UII.

Fathul Wahid dalam sambutannya mengajak warga kampus untuk dapat mawas diri. Disampaikan rektor, beberapa bulan terakhir beragam kisah pahit bermunculan ke permukaan. Termasuk di antaranya publikasi abal-abal di jurnal predator, pembatalan gelar profesor, obral gelar akademik, plagiarisme, dan sederet pelanggaran akademik lainnya.

“Sebagian orang berpendapat, ini baru puncak gunung es. Gunungnya sendiri belum terlihat. Semoga pendapat salah. Jika pun benar, kita sudah tidak kaget karena sudah diberi peringatan,” tutur Fathul Wahid.

Lebih lanjut disampaikan Fathul Wahid, kasus serupa juga terjadi di banyak konteks lain. Misalnya, laporan yang diturunkan oleh Nature, jurnal ilmiah terkemuka, di akhir 2023, menyentakkan. Dalam setahun saja, lebih dari 10.000 artikel jurnal ditarik  dari peredaran. Dalam laporan tersebut, disebut beberapa negara penyumbang artikel diretraksi dalam dua dekade terakhir: Saudi Arabia, Pakistan, Rusia, dan Tiongkok.

“Alasan penarikan artikel beragam, mulai dari pelanggaran akademik, dugaan pelanggaran akademik, plagiarisme, kesalahan, sampai dengan duplikasi publikasi,” paparnya.

Menurut Rektor, terdapat beberapa hal yang disinyalir mendasari pelanggaran integritas akademik ini terjadi. Di antaranya adalah tekanan publikasi di tengah beban yang sudah tinggi, godaan iming-iming remunerasi yang disalahpahami, godaan potensi pendapatan untuk mereka yang terlibat dalam sindikasi, persaingan antarkampus yang salah kaprah, pemaknaan lain atas definisi integritas akademik, atau murni ketidaktahuan terutama untuk dosen pemula,” jelasnya

Senada, Ketua Pengembangan Pendidikan Yayasan Badan Wakaf (YBW) UII, Prof. Drs. Allwar, M.Sc., Ph.D. berharap hadirnya profesor baru di UII mampu meningatkan reputasi UII di kancah nasional maupun internasional. Prof. Alwar menambahkan bahwa profesor harus mampu melakukan kolaborasi riset hingga kancah internasional yang bermanfaat bagi masyarakat

“Tidak hanya sebatas pada jurnal saja, tetapi ada program. Program yang kita harapkan itu hilirisasi yang bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.  Selain itu, sistem pembelajaran tidak hanya pada teori karena profesor sudah banyak mengalami kemajuan riset yang kemudian diimplementasikan dalam sistem pembelajaran. Eksperimen-eksperimen di dalam penelitian itu bisa sebagai tim dalam proses pembelajaran,” terang Prof. Alwar.

Prof. Alwar juga berharap universitas, khususnya UII, mampu menjadi kiblat kejujuran, kesucian pengetahuan, dan kegigihan dalam berkarya, serta berkomitmen untuk terus menjaga integritas kelimuan.

Sementara itu, Ketua Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah V, Prof. Setyabudi Indartono, M.M., Ph.D. mengatakan bahwa kompetensi dosen-dosen UII untuk melangkah maju menjadi guru besar sangat luar biasa. Dari data yang dihimpun dari LLDIKTI V, terdapat sebanyak 278 dosen di UII yang sudah bergelar doktor yang bisa disiapkan dengan baik untuk mencapai jabatan akademik tertinggi ini.

Prof. Setyabudi juga berpesan kepada professor baru UII, bahwa masih banyak pekerjaan pada bidang yang ditekuni. “Masih banyak tantangan dalam bidang ekonomi kelembagaan ini meliputi efektivitas institusi yang sangat bergantung pada bagaimana aturan dan struktur kelembagaan, transparansi alokasi sumber daya, dan legitimasi yang besar pada institusi syariah,” tutur Prof. Setyabudi. (AHR/RS)