Prof. Mahfud Berikan Pemaparan Dinamika Hukum dan Demokrasi Indonesia pada Kuliah Perdana Program Magister Doktor FH UII

Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar Kuliah Perdana Program Magister-Doktor pada Sabtu (14/09) di Auditorium FH UII. Kuliah perdana ini mengusung tema Daya Tahan Negara Hukum dan Demokrasi di Indonesia diikuti oleh mahasiswa program magister dan doktor dari berbagai daerah di Indonesia. Hadir dalam kuliah perdana ini Prof Dr Mahfud Md., SH, SU, MIP selaku Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) UII sebagai pemateri.

Dr. Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H dalam sambutannya mengatakan tema yang diangkat dalam kuliah perdana ini masih sangat relevan untuk dibahas karena saat ini keadaan demokrasi di Indonesia masih belum baik.

Ia juga berharap mahasiswa baru program magister dan doktor bisa mengambil banyak pelajaran dari pemaparan materi oleh Prof. Mahfud. “Ilmunya kita rasakan betul, kedalaman analisisnya, pengalaman beliau yang panjang didalam praktik bernegara ini tentu tidak banyak ilmuwan yang punya pengalaman begitu komplit, teoritiknya mendalam juga pengalaman empiriknya luar biasa, Sehingga, saya berharap mahasiswa dapat menyimak apa yang akan beliau sampaikan di tengah-tengah kita, mudah-mudahan bermanfaat,” ungkap Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FH UII ini.

Prof. Mahfud dalam pemaparan materinya menjelaskan 3 hal yang menjadi pilihannya dalam menginterpretasikan negara hukum dan demokrasi saat ini. Pertama, Indonesia sebagai negara hukum harus membangun pemerintahan yang demokrastis yang diarahkan dan dikendalikan oleh hukum itu sendiri. Kedua, demokrasi harus dijalankan atas legitimasi hukum tidak hanya atas kekuatan mayoritas dan suara.

“Ketiga, akhir-akhir ini timbul gejala pembalikan arah atau ketidakseimbangan hubungan determinasi antara keduanya. Negara hukum agak melemah dengan munculnya peraturan perundang-undangan yang berwatak ortodoks dan pelemahan atas lembaga-lembaga politik dan penegakan hukum. Fenomena ini disertai dengan menguatnya watak oligarki, kleptokrasi, dan kartelidsasi,” ungkap Guru Besar Hukum Tata Negara UII ini.

Beliau juga menuturkan dinamika perjuangan demokrasi selama perjalanan kemerdekaan hingga saat ini yang mengalami perubahan sistem ketataegaraan hingga pelaksanaandengan berbagai instrumen baru. Menurutnya, perubahan-perubahan dan dinamika ketatanegaraan menjadi sejarah yang harus diukir sehingga dari hal tersebut timbul teori dan jawaban atas keberlangsungan dinamika ketatanegaraan yang terkadang bukan sekadar instrumen organik, tetapi juga instrumen fundamental yang melandasi.

Beliau memaparkan beberapa teori yang meniscayakan terjadi dinamika dan perubahan mendasar itu seperti dalil ‘masyarakat berubah, hukum berubah’ yang diartikan sebagai konstitui dan hukum adalah produk kesepakatan para pembentuknya sesuai dengan perkembangan politik, ekonomi, sosial, dan budaya (poleksosbud). Sehingga, jika situasi poleksosbud mengalami perubahan makan hukum juga akan mengikuti perubahan tersebut.

“Berlakunya dalil Lord Acton yaitu power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely dimana sebaik apapun orang yang mempunyai kekuasaan sangat potensial untuk korupsi jika tidak dibatasi dan diawasi dengan mekanisme konstitusi yang kuat. Kemudian ada dalil tolak tarik antara demkrasi dan integrasi yang dikemukakan oleh Clifford Geertz, demokrasi berwatak memberi kebebasan kepada rakyat untuk menggunakan hak-haknya sedangkan integritas berwatak membatasi kebebasan agar negara tetap utuh, keduanya dibutuhkan berdasar konstitusi sehingga menimbulkan dilema,” tutur Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM RI periode 2019-2024 ini

Pelemahan atas performansi negara hukum di Indonesia juga terjadi karena ketaatan kepada ideologi negata hanya terpusat pada produk hukumnya yang berarti hanya bertitik berat pada Pancasila sebagai dasar negara, padahal selain sebagai dasar negara masih ada fungsi-fungsi lainnya seperti pemersatu, pandangan hidup, kesepakatan bangsa, sumber tertib hukum.

Di akhir materinya, Prof. Mahfud menyampaikan perubahan-perubahan konstitusi dan ketatanegaraan tidak harus mengikuti teori politik atau ketetanegaraan dari negara lain. Tidak juga harus perlu terlalu romantis untuk selalu mengikuti teori ketatanegaraan yang asli. Dari penuturannya, teori yang paling asli dari teori ketatanegraan adalah tidak bias terhadap teori ketatanegaraan negara lain ataupun dari literatur karena setiap sistem ketatanegaraan tidak ada yang asli dari suatu negara melainkan resultante atau produk dari poleksosbudnya.

“Untuk mengawal dinamika dan perubahan-perubahan yang tidak bisa dihindari itu maka kewajiban kita adalah ikut menjaga, mengawal, dan memberi solusi melalui studi yang mendalam dan penuh kepekaan terhadap perkembangan masyarakat. Dalam melaksanakan kewajiban itu kita harus tetap selalu menjaga dan menguatkan demokrasi, konstitusi, dan nomokrasi sebagai prinsip-prinsip dan sistem yang sanngat penting dalam ketatanegaraan kita,” tutur Prof. Mahfud mengakhiri sesi pemaparan materi. (AHR/RS)