,

PSAD UII Gelar Srawung Demokrasi, Bahas Semrawut Politik Indonesia

Pengamat politik, Eep Saefulloh Fatah, menilai bahwa terdapat dua model manajemen kekuasaan yang dikembangkan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, yakni loyalitas berbasis insentif serta loyalitas berbasis penyanderaan.

Gagasan disampaikan dalam Srawung Demokrasi #1 yang digelar Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Universitas Islam Indonesia (UII), Selasa (20/8). Pada acara yang bertajuk “Munaslub Golkar dan Problematika Partai Politik Indonesia” dan digelar di Gedung Yayasan Badan Wakaf (YBW) UII, Cik Di Tiro, tersebut, Eep menyampaikan paparannya soal “langgam kekuasaan” yang dibuat untuk mengikat loyalitas.

Eep selaku Founder & CEO PolMark Indonesia dan Dig-Inc. Asia merupakan narasumber yang dibersamai oleh Prof. Dr.rer.soc. Masduki, S.Ag., M.Si., Kepala PSAD UII dan dosen Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi UII. Acara juga dipandu oleh Karina Utami Dewi, S.I.P., M.A., dosen Program Studi (Prodi) Hubungan Internasional UII sekaligus peneliti PSAD UII.

Menurut Eep, terdapat sejumlah perubahan yang terjadi antara periode pertama dan kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Di antaranya, seperti pada berubahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), fenomena rangkap jabatan, serta tidak bolehnya ketua umum partai politik (parpol) menjabat di pemerintahan. Pengamat tersebut menilai bagaimana Presiden Jokowi menjadi contoh dalam membangun loyalitas insentif.

“Jabatan adalah insentif. Kesempatan berkuasa insentif. Mengambil nikmat-nikmat menjadi pemburu rente adalah insentif. mengambil bancakan dalam skala kecil-skala besar adalah insentif. Itulah yang disediakan oleh langgam kekuasaan Jokowi, dan dia berikan kepada banyak orang, dan orang itu menjadi loyalisnya,” terangnya.

Eep pula menerangkan soal tiga prasyarat demokrasi, yakni kebebasan, partisipasi, serta kompetisi. Menurutnya, ketiga unsur tersebut mestinya dijalankan, namun kini tengah dipersempit akibat konsekuensi dari praktik pembunuhan demokrasi. “Instrumen atau kendaraan atau sarana demokrasi itu adalah mandat, keterwakilan politik, akuntabilitas publik. Praktiknya harus dijalankan ketiga-tiganya. Yang akan dituju adalah kesejahteraan, persamaan, keadilan, kemakmuran,” tandasnya.

Pada sesi lain, Prof. Masduki mengungkapkan pengamatan terhadap fenomena yang terjadi di Partai Golkar, yakni terdapat upaya pelemahan kekuatan kritis/oposisi di parlemen melalui pelemahan partai politik. Menurutnya, berdasarkan situasi terkini, anggapan parpol sebagai penyaluran aspirasi sesungguhnya tidak lagi relevan. “Mereka sesudah terpilih itu tidak lagi punya connection dengan konstituennya. Mereka menjadi gerombolan terpisah atau kartel yang memperebutkan sumber daya ekonomi-politik,” sebutnya.

Lebih lanjut, Prof. Masduki juga menyoroti fenomena parpol perseorangan. Dijelaskan bahwa personalisasi politik yang terlalu kuat menjadi faktor yang berpengaruh dalam kondisi tersebut, sehingga posisi partai sebagai pilar demokrasi justru masih jauh dari harapan.

“Kita tahu sekarang mengapa misalnya ramai-ramai satu calon di Jakarta dikerubungi oleh banyak partai itu karena faktor ini. Faktor personalisasi politik yang terlalu kuat, sehingga institusionalisasi partai tidak terjadi,” jelasnya.

Menurutnya, setidaknya terdapat tiga langkah yang dapat dilakukan dalam memberi respons. Di antaranya, yakni dengan mendorong reformasi struktural politik, merebut dan merayakan kembali ruang publik (digital), serta menjaga agar demokrasi resilien dalam kondisi apapun.

“Gerakan-gerakan semacam ini harus bernegosiasi, berkolaborasi dengan gerakan yang punya basis di lapangan. Sehingga kita langsung menyatu dengan massa dan warga negara,” pungkas Prof. Masduki.

Diskusi perdana PSAD UII tersebut dibuka oleh Dewan Pembina PSAD UII, Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U. Dalam sambutannya yang disampaikan melalui rekaman video, Prof. Mahfud mengemukakan peringatan dari Bung Hatta mengenai terbunuhnya demokrasi melalui demokrasi yang berkaca dari sejarah politik negara di seluruh dunia.

“Caranya bagaimana? Caranya berkolusi di antara pemegang hak-hak demokrasi. Partai politik punya hak demokrasi, lalu berkolusi membuat keputusan-keputusan yang merampas hak-hak rakyat, sehingga timbul korupsi,” terang Prof. Mahfud.

Sambutan juga disampaikan oleh Wakil Kepala PSAD UII, Dr. Rokhedi Priyo Santoso, S.E., MIDEc. yang menjelaskan bahwa konsep srawung berangkat dari local wisdom di Yogyakarta. Menurutnya, konsep demikian ditujukan agar PSAD dapat mengangkat nilai-nilai demokrasi yang berdasarkan nilai agama kepada masyarakat.

“Kita ingin melalui Srawung Demokrasi ini membuka ruang dialog yang sifatnya egaliter. Karena kalau kita misalnya srawung dengan tetangga kita, tanpa memandang siapa yang bersangkutan. Semuanya (atribut) dilepaskan,” ujarnya. (JRM)