Program Studi Hubungan Internasional Gelar Kuliah Terbuka Bertajuk Diplomasi Digital

Program Studi Hubungan Internasional (PSHI) Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar kuliah terbuka bertajuk Diplomasi Digital dengan menghadirkan pembicara Prof. Fathul Wahid, ST., M.Sc., Ph.D. Kegiatan yang digelar pada Selasa (9/7) di Auditorium Lantai 3 Gedung Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa akan pentingnya digitalisasi di zaman modern saat ini.

Prof. Fathul Wahid menerangkan bagaimana diplomasi digital tidak hanya melalui aktor negara seperti pemerintahan saja, tetapi dapat dilakukan pula oleh aktor-aktor eksternal. Diplomasi digital pun tidak hanya sekedar media sosial tetapi informasi digital juga menjadi sorot penting dalam kasus internasional.

“Keamanan siber, tata kelola informasi data, dan kejahatan siber seharusnya menjadi bagian dari diskusi internasional,” ujar Rektor UII ini.

Sebagai lulusan Teknik Informatika, Prof. Fathul Wahid melihat teknologi dilihat sebagai sosial-material, bukan material saja. Menurutnya, perkembangan teknologi di Indonesia masih berada di ‘lereng’, belum sampai puncak teknologi. “Adapun diplomasi digital yang tinggi berada pada negara dengan teknologi yang tinggi,” tuturnya.

Algoritma juga menjadi bahasan yang menarik bagi aplikasi digital, dimana semua pengguna aplikasi dapat dinilai dari apa yang sehari-hari dikonsumsi olehnya.

“Diplomasi digital juga dinilai dari adanya agenda-agenda yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Salah satu contohnya adalah infrastruktur, dimana jika salah satu jalur internet diputus maka akan berakibat semua jalur internet mati. Ini merupakan agenda ketergantungan digital, yang mana adalah diplomasi digital yang tidak kita sadari,” jelas Prof. Fathul Wahid.

Prof. Fathul Wahid mengemukakan bahwa infrastruktur seringkali disadari ada ketika tidak ada atau rusak, yang bisa menjadi poin yang mengubah lingkungan diplomasi. Jika infrastrukturnya baik, maka orang yang berkerja di belakang infrastruktur pun banyak.

Lebih lanjut, ia menyampaikan bagaimana AI generatif bisa menjadi celaka, dan dapat pula menjadi ‘teman’ bagi penggunanya. Seperti yang terjadi pada Penulis Hollywood yang melakukan pemogokan di tempat kerja selama 5 bulan dan memprotes adanya AI generatif.

Maka perlu diadakannya edukasi bagi publik untuk membentuk ketahanan informasi digital, dan tak lupa pula untuk tidak terlalu bergantung dengan inovasi digital yang ada. “Tidak semua hal bisa kita konsumsi,” ungkap Prof. Fathul Wahid. (FAP/AHR)