Beragam Pemikiran Dipaparkan Dalam TEDxUII

Melalui Podcast, Aufanida Ingin Mensyiarkan Ramadan

Universitas Islam Indonesia (UII) bersama dengan Technology, Entertainment, and Design (TED) kembali menggelar acara TEDxUII bertajuk Disruption: Unlocking the Future pada Selasa (02/07) di Gedung Sardjito Kampus Terpadu UII. Dalam kegiatan ini 8 speaker memaparkan beragam pemikiran mereka terkait dengan bagaimana membuka jalan untuk masa depan pada era disrupsi.

Pembicara pertama, Suci Miranda, S.T., M.Sc. yang merupakan dosen Fakultas Teknologi Industri (FTI) UII berbicara terkait topik Black Swan Event: Fight or Flight, diangkat dari buku karangan Nassim Nicholas Taleb. Ia memaparkan bagaimana suatu peristiwa mampu mempengaruhi jalannya kehidupan salah satunya yang dikenal dengan fenomena Black Swan, yakni istilah untuk fenomena yang sama sekali tidak bisa diprediksi. Hadir dengan dampak dan risiko yang sangat besar seperti contohnya Covid-19 dan Peristiwa Bom Bali.

“Untuk menciptakan ketahanan terhadap fenomena ‘Black Swan’ ini kita perlu menyikapi dengan jangan terlalu percaya diri atau takabur bahkan dalam gejala sekecil apapun. Berpikirlah terbuka dengan komunikasi yang baik karena mampu meminimalisir skenario potensi buruk yang terjadi,” jelas Suci.

“Jujur dalam setiap kondisi, jika ada tanda yang tidak terprediksi bisa dikemukakan agar bisa berbagi pengalaman dan bisa saling bekerjasama. Selain itu dengan strategi yang beragam dan empati juga menjadi poin penting dalam menciptakan ketahanan tersebut,” jelas Suci,” lanjutnya.

Berikutnya, Primadiani Difida Widyaputri sebagai salah satu student speaker menyampaikan pemikiran terkait tantangan baru kesetaraan gender yang menjadi kontestasi gender, dan miskonsepsi yang berkembang bahwa kebangkitan perempuan merupakan kejatuhan bagi laki-laki

“Tanpa kita sadari ini sudah terjadi, yang terjadi setelah kesetaraan gender, ada persaingan di dalamnya yang lain dan tak bukan penyebabnya ialah patriarki, sebuah ajaran atau pemahaman yang memprioritaskan peran laki-laki dan hanya laki-laki yang bisa memaksimalkan potensinya untuk mencapai hak-haknya tanpa melibatkan perempuan,” ujar Mahasiswa Hubungan Internasional UII sekaligus  aktivitis pejuang hak-hak perempuan ini.

Lebih lanjut, Primadiani menjelaskan untuk keluar dari kontestasi gender ini perlu tanggung jawab bersama dengan mengakhiri kesenjangan gender, menghapuskan kekerasan berbasis gender, menjamin kesetaraan pada partisipasi dan peluang, serta akses terhadap hak-hak perempuan dan laki-laki.

“Laki-laki dan perempuan saling memberdayakan dalam menciptakan dunia yang partisipatif, kolaboratif, dan suportif. Kesetaraan gender harus dipandang sebagai sebuah pondasi untuk mencapai dunia yang damai, adil, makmur, dan berkelanjutan,” tutupnya

Speaker selanjutnya, Paksi Raras Alit menjelaskan sejarah Pulau Jawa yang diberi nama Yavadvipa bermakna Pulau Biji-Bijian serta ungkapan lain dari ‘Jawa’ itu sendiri yang bermakna rendah hati, sopan, ramah,basa basi,  tidak blak blakan menghindari risiko langsung, dan menghindari konfrontasi

“Ada banyak peribahasa dalam bahasa Jawa salah satunya ‘ngono ya ngono ning ojo ngono’, ajarin ini mengajarkan kita arti keselarasan. Dalam segala aspek kita harus bisa menyeleraskan diri, bisa menjadi sosok yang dapat berdiri di tengah, berpikir moderat, tidak berpihak, tapi bisa bersikap luwes menghadapi perbedaan sesuai dengan keberadaanya,” tutur pendiri Sekolah Aksara Jawa at Jawacana ini.

Berikutnya, paparan materi disampaikan oleh Mukhammad Andri Setiawan, S.T., M.Sc., Ph.D menjelaskan paradigma dari artificial intelligence (AI)  dan persiapan untuk pandemi masa depan

“Jangan jadikan AI sebagai sumber kepercayaan kita dalam kehidupan tetapi jadikan AI sebagai teman kita untuk ‘brainstorming’ dan kita perlu tetap dengan pikiran kritis kita untuk menyikapi kehidupan,” ucap Kepala Badan Sistem Informasi (BSI) UII.

Rektor UII Prof. Fathul Wahid, S.T, M.Sc., Ph.D. yang juga sebagai speaker mengangkat topik menjemput masa depan. Dalam pemaparannya, Prof. Fathul menyampaikan pentingnya menumbuhkan kesadaran orientasi temporal yang dibagi menjadi 3, yaitu hormat ke masa lampau, kritis terhadap masa kini, dan optimis menjemput masa depan

“Hormat ke masa lampau bisa dilakukan dengan memaknai kembali alasan kehidupan, menguatkan nilai-nilai pijakan menjadi diri sendiri, dan meningkatkan refleksi atas pengalaman lampau. Kritis terhadap masa kini dilakukan dengan melakukan evaluasi diri sendiri secara jujur, mengikuti perkembangan, menjadi penengaj yang menawarkan wacana adaptif, dan berhenti bermain menjadi ‘korban’. Optimis menjemput masa depan dengan membuat anak tangga untuk maju, menggunakan nilai-nilai abadi, dan mengembangkan kerja sama dan sinergi,” papar Prof. Fathul

Speaker ke enam, Syarifa Yurizdiana, Aktivis Indonesia Zero Waste dalam kesempatannya menjelaskan tentang fast fashion dan dampaknya yang mampu menyebabkan polutan yang masif kedua setelah polutan dari industri minyak.

“Fast Fashion sangat berdampak buruk bagi lingkungan, 85% sisa penggunaan tekstil mencemari tanah, berkontribusi menghasilkan 10% emisi karbon dioksida, dan 35% mikroplastik yang ada dilautan berasal dari kain sintesis. Selain itu, industry fast fashion juga tidak menerapkan keamanan dan keselamatan kerja, serta ekploitasi buruh,” paparnya

“Maka dari itu penting untuk kita menjadi konsumen yang ‘berkelanjutan’ dengan membeli secukupnya dengan melihat kemampuan dan kebutuhan yang ada. Penting untuk memilih fashion yang berkualitas yang tinggi, alami, dan bersifat lokal. Penting untuk merawat dengan memisahkan jenis-jenis kain pada pakaian kita untuk memperpanjang ketahanan dan fungsinya,” tambah Syarifa

Selanjutnya, Fatimah Azzahra menjelaskan tentang pemikirannya tentang urgensi kebutuhan hakim di masa depan. “Menurut Dr. Pri Pambudi, hakim tidak dapat digantikan, Undang-undang telah menetapkan bahwa hakim berkewajiban untuk menguji dan memutus perkara. Semua kecerdasan buatan hanya berguna dan berfungsi untuk membantu tugas dan fungsi hakim,” papar Mahasiswa Hukum Islam UII ini.

Menurutnya, hakim seharusnya mampu menanggapi tantangan disrupsi dengan mematuhi 10 prinsip perilaku yudisial, mengikuti 7 nilai inti dari kehakiman, menguasai kemajuan teknologi, dan penting untuk mempertimbangkan keamanan dan kesejahteraan.

Narasumber terakhir, Agus Mulyadi atau biasa dipanggil dengan “Agus Magelangan” memaparkan  perjalanan inspiratifnya menjadi seorang penulis terkenal yang mengalami banyak pasang surut, bahkan tidak mendapat dukungan dari keluarganya, tapi tidak mematahkan semangatnya untuk terus menulis. “Menulis adalah salah satu cara terbaik mengasah kepekaan,” ungkapnya. (AHR/RS)