Palestina dan Kemanusiaan Kita

Untuk kelulusan Saudara, atas nama UII, saya mengucapkan selamat. Semoga di hadapan Saudara terbentang jalan terang untuk meneguhkan khidmat di tengah-tengah masyarakat.

Barengi capaian ini dengan ungkapan syukur kepada Allah yang tak pernah lupa meliputi kehidupan Saudara dengan guyuran nikmat yang tak pernah tersendat. Jangan sampai kesibukan dengan beragam aktivitas yang menjauhkan Saudara dari bermunajat kepada Zat yang Maha Hebat.

Wujud syukur juga bisa mewujud dalam ungkapan terima kasih kepada orang-orang yang telah berandil dalam studi Saudara, terutama orang tua. Mereka telah mengorbankan banyak hal yang bahkan di luar perkiraan Saudara. Doa mereka kepada Saudara tidak pernah terputus. Tidak terhitung sudah berapa malam sajadah terbasahi oleh air mata orang tua Saudara sebagai pertanda keinginan yang kuat ingin melihat Saudara berhasil dan bahagia.

 

Bekal berharga

Inilah saatnya Saudara mulai membuka pintu gerbang membuka halaman baru dalam kehidupan Saudara. Bekal ilmu dan kecakapan yang sudah Saudara timba di kampus, insyaallah sudah cukup menjadi modal berkarya. Namun, selalu asah kecakapan diri dengan terus belajar.

Dunia terus berubah, dalam kecepatan yang sulit dibayangkan dan arah yang tidak mudah diprediksi. Dengan terus belajar, Saudara akan selalu adaptif.

Jangan lupa, kehidupan kampus tidak hanya membekali Saudara dengan beragam kecakapan. Ada harta karun lain yang sering dilupakan: kampus adalah tempat menyemai dan  membangun jaringan.

Karenanya, mumpung masih segar, sebagai alumni, saya juga mengajak Saudara untuk bergabung dengan Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (IKA UII) di daerah tempat Saudara nanti berkarya.

Insyaallah dengan demikian, Saudara akan tetap terhubung dengan sumber energi positif yang saling mengingatkan dan saling meningkatkan.

 

Peduli Palestina

Acara wisuda kali ini dikemas dengan agak berbeda. Tema yang diangkat adalah peduli Palestina.

Saya yakin, dunia berkarya akan menantang, tetapi semua itu jangan sampai menumpulkan nurani kita dan menjadi abai dengan sesama. Saya termasuk yang percaya, semoga juga Saudara, kasih yang kita berikan kepada sesama, justru akan membuka berjuta pintu kebaikan dan kemudahan.

Tema ini diangkat untuk mengasah sisi kemanusiaan kita melihat kesewenang-wenangan terjadi.

Saya juga berdoa, momentum ini dapat menambah rasa syukur kita karena hidup di Indonesia yang damai, meski tetap dengan banyak perkerjaan rumah yang menunggu diselesaikan.

 Tema wisuda ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengusik kebahagiaan Saudara di hari ini. Justru sebaliknya, kisah Palestina berikut justru diharapkan menambah kelezatan nikmat yang kita terima hari ini, karena apa yang menurut kita sesuatu yang lumrah, ternyata menjadi kesempatan mewah saudara-saudara kita di Palestina.

Bagi Saudara yang karena kesibukan tidak sempat mengikuti perkembangan mutakhir, izinkan saya merangkumnya sebagai berikut.

Menurut data yang dihimpun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) (ochaopt.org), sejak serangan Israel pada 7 Oktober 2023, jumlah korban jiwa di Palestina sudah mencapai lebih dari 35.000, sedangkan lebih dari 79.000 lainnya mengalami luka-luka. Lebih dari 70.000 rumah rusak, dan sekitar 1,7 juta jiwa kehilangan tempat tinggal.

Sampai hari ini, belum ada tanda-tanda serangan tersebut akan dihentikan, meskipun beragam lembaga dunia sudah berteriak untuk meminta penghentian.

Ini ada cerita miris dari penjajahan yang dilakukan oleh Israel terhadap bangsa Palestina. Israel sudah sejak lama menjalankan politik apartheid  berupa “tindakan tidak manusiawi yang dilakukan demi membangun dan melanggengkan dominasi oleh satu kelompok rasial terhadap kelompok rasial lainnya, dan secara sistematis bersifat menindas”. Mereka juga telah melakukan genosida secara bertahap (Chomsky & Pappé, 2016), berupa pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu atau sekelompok suku bangsa dengan maksud memusnahkannya dari muka bumi.

Saat ini, semakin banyak negara di dunia yang mengakui negara Palestina. Selasa lalu (21/05/2024), Spanyol, Irlandia, dan Norwegia secara resmi menyatakan pengakuan ini yang berlalu efektif mulai 28 Mei 2024.  Pengakuan ini telah membuat Perdana Menteri Israel geram.

Indonesia sendiri sudah mengakui secara resmi negara Palestina pada 1988, beberapa saat setelah Palestina diproklamasikan sebagai negara merdeka, pada 15 November 1988. Proklamasi itu dilakukan oleh Yasser Arafat, Pimpinan PLO (Palestine Liberation Organization, Organisasi Pembebasan Palestina) dari Aljazair.

Sebanyak 144 dari 193 negara anggota PBB telah menyetujui Palestina bergabung ke PBB (Reuters, 2024). Meski demikian, sebagian kecil negara lain, tidak menyetujui, termasuk Amerika Serikat, Kanada, Australia, Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara di Eropa Barat (Aljazeera, 2024). Sampai hari ini, Palestina belum bisa menjadi anggota penuh PBB. Pada April lalu, Amerika Serikat menggunakan hak vetonya untuk menolak usulan tersebut (UN, 2024).

 

Hipokrisi dunia

Ini menjadi bukti bahwa banyak negara di dunia yang menggunakan standar ganja dalam menyikapi kasus Palestina. Kita menyaksikan hipokrisi atau kemunafikan yang nyata di pentas dunia.

Hari ini, melalui mimbar ini, saya mengajak semua wisudawan dan hadirin sekalian, untuk meningkatkan empati atas penjajahan yang terjadi di Palestina. Kita bisa sisihkan sebagian rezeki untuk membantu mereka. Banyak lembaga yang menggalang dana. UII juga menggalang melalui UIIPeduli.

UII juga sudah sejak lama memberikan beasiswa ke mahasiswa dari Palestina: lima kursi per tahun, meski tidak selalu terpenuhi, karena beragam alasan. UII juga mengirimkan bantuan ke sana, baik melalui Kedutaan Palestina di Jakarta, maupun melalui lembaga kemanusiaan yang beraktivitas di sana, seperti MER-C yang mengelola Rumah Sakit Indonesia di Gaza.

Kita bisa jika lantangkan suara kita untuk mendukung mereka. Apa yang kita lakukan hari ini adalah bagian dari itu. Kita bisa juga sisipkan doa untuk dilangitkan demi kebaikan dan perdamaian permanen di Bumi Palestina.

Tidak perlu menjadi muslim untuk tersentuh dengan tragedi kemanusiaan yang ada di Palestina. Yang kita perlukan hanyalah dengan tetap menjadi manusia yang jujur dan tidak kehilangan nurani dan kemanusiaannya.

 

Palestina dalam penantian

Izinkan saya menutup sambutan ini dengan membacakan sebuah puisi tentang Palestina yang ditulis oleh Riyam Kafri Abu Laban. Riyam adalah profesor kimia di Universitas Al-Quds. Dia lulusan Universitas Tenesse, Amerika Serika. Alih-alih memilih menetap berkarier di Amerika Serikat, dia memilih pulang ke Palestina untuk mengajar dan menulis.

Berikut adalah puisi karya Profesor Riyam, untuk menjadi wasilah dalam mengasah empati kita. Puisi tersebut saya terjemahkan. Puisi ini menjadi penutup buku Palestine speaks: Narratives of life under occupation, yang disunting oleh Hoke dan Malek (2014).

Jika diperlukan, sila pejamkan mata ketika mendengarkan puisi ini.

 

Dalam Penantian

Oleh Riyam Kafri Abu Laban

Selamat datang di tanah penantian. Orang-orang di sini lahir dalam penantian.

Menanti untuk kembali ke tanah air yang hilang, dan, dari yang terlihat, dalam momen-momen paling putus asa, hilang selamanya.

Menanti untuk kembali ke rumah yang masih mereka pegang kuncinya di tangan, dan ingatan di hati; sebuah gambar yang tersembunyi dalam lipatan mimpi mereka, dan yang, sayangnya, dalam momen-momen paling realistis mereka tahu tidak lagi ada.

Di Palestina kau menanti Ramadan, seperti menanti napas segar di restoran penuh sesak di Kota New York. Kau menanti izin untuk bepergian. Kau menanti sekolah dibuka, menanti pemogokan berakhir, menanti pos pemeriksaan dihapus, menanti puing-puing kecelakaan dibersihkan. Kau menanti Jembatan Allenby kosong, menanti dokter yang akhirnya datang tepat waktu.

Di Palestina kau menanti. Kau menanti mimpimu menjadi kenyataan.

Kau menanti untuk meninggalkan kamp pengungsi, kau menanti untuk meninggalkan desa, kau menanti untuk tiba di Ramallah, kau menanti takdir untuk memelukmu—tapi dia sebenarnya tidak pernah melakukannya. Faktanya, di perhentian pertama dia menamparmu keras di wajah dan meninggalkan bekasnya padamu, dan kemudian kau menghabiskan seumur hidup menanti luka itu sembuh. Itu tidak pernah sembuh.

Di Palestina kau menanti untuk lulus, kau menanti untuk mendapatkan pekerjaan, kau menanti pekerjaan berikutnya lebih baik daripada yang pertama.

Di Palestina kau menanti untuk menikah, kemudian kau menanti untuk memiliki anak, kemudian kau menanti mereka tumbuh. Kemudian kau menanti mereka menjadi dokter—tapi percayalah, mereka tidak akan.

Di Palestina kau menanti dalam antrean tanpa akhir untuk menerima izin melihat Palestina yang milikmu. Dan setelah akhirnya kau mendapatkan kesempatan untuk melihatnya, kau menyadari bahwa dia tidak terlihat seperti yang digambarkan oleh kakek-nenekmu, dan tidak seperti negara yang ibumu tangisi. Kau menanti untuk melihatnya, hanya untuk menyadari bahwa dia telah bergerak maju, dan tidak menantimu.

Di Palestina kau menanti kelahiran seorang anak dengan cemas, dengan harapan dia tidak akan lahir di pos pemeriksaan.

Di Palestina kau menanti serangan kelaparan berakhir. Kau menanti putra dan putri dibebaskan dari penjara—hanya untuk ditangkap lagi, di pos pemeriksaan berikutnya saat mereka berusaha mencari pekerjaan dan memulai hidup.

Di Palestina kau menanti gaji hanya untuk dibajak oleh pembayaran utang kelaparan dan harga bensin yang membara.

Di Palestina, kau menanti tanpa akhir di Qalandiya untuk pulang. Terus menanti. Ini mungkin memakan waktu berjam-jam.

Kau menanti musim panas berakhir dengan harapan bahwa musim dingin akan membawa lebih banyak kedamaian, dan kau menanti musim dingin berakhir dengan harapan bahwa musim panas akan membawa lebih banyak kehangatan.

Di Palestina kau menanti segalanya dan semua orang.

Di Palestina kau menanti letusan berikutnya, Intifadah berikutnya, serangan berikutnya, perang berikutnya—yang selalu datang.

 

Epilog

Saya yakin, setelah mengetahui kisah nestapa Palestina, Saudara akan menjadi manusia yang lebih bersyukur dan menggunakan segenap kesempatan untuk berbuat baik kepada sesama.

Izinkan saya mengakhiri sambutan ini, dengan iringan doa, semoga Allah senantiasa melindungi orang-orang yang masih menjaga kemanusiaannya, termasuk kita, di muka bumi ini, dan memberikan hidayah kepada mereka yang lupa dengan kemanusiaannya.

 

Referensi

Aljazeera (2024, 22 Mei). Mapping which countries recognise Palestine in 2024. Aljazeera, https://www.aljazeera.com/news/2024/5/22/mapping-which-countries-recognise-palestine-in-2024

Chomsky, N., & Pappé, I. (2016). On Palestine. Penguin.

Hoke, M., & Malek, C. (Ed.). (2014). Palestine speaks: Narratives of life under occupation. McSweeney’s.

Reuters (2024, 22 Mei). Israel infuriated by Ireland, Spain, and Norway’s recognition of a Palestinian state. Reuters, https://www.reuters.com/world/europe/ireland-recognise-palestinian-state-2024-05-22/

United Nations (UN) (2024, 18 April). Security council fails to recommend full united nations membership for State of Palestine, owing to veto cast by United States, https://press.un.org/en/2024/sc15670.doc.htm

Sambutan pada acara wisuda Universitas Islam Indonesia pada 25 Mei 2024