Belajar Berkata Tidak Demi Kesehatan Mental

Kebanyakan orang ingin merasa dicintai dan dihargai karena manusia merupakan makhluk sosial. Namun, ada juga perilaku seseorang yang cenderung mengiyakan semua permintaan dari orang lain dengan tujuan tertentu. Pada akhirnya, perilaku ini merugikan diri sendiri, karena menguras energi, waktu, dan kesehatan mental.

Untuk memahami terkait hal tersebut, Program Studi (Prodi) Psikologi Universitas Islam Indonesia (UII) bersama dengan Himpunan Mahasiswa Psikologi (HIMAPSI) mengadakan sharing session berkaitan dengan people pleaser “Sometimes, Its Okay To Say No”. Acara yang digelar pada Sabtu (10/12) secara daring melalui Zoom Meeting menghadirkan Andini Nabila Sari selaku Cofounder Diceritain Id dan Employee Experience Analyst Kompas Gramedia dan Lika S.Psi., M.Psi.  selaku Psikolog JadiLega.

Pada sesi penyampaian materi, Andini Nabila Sari menjelaskan bahwa kebanyakan orang menganggap people pleaser adalah berbuat kebaikan. Tetapi keduanya merupakan hal yang berbeda. 

“Kebaikan merupakan bentuk ekspresi diri, sedangkan people pleaser merupakan perilaku yang digunakan sebagai landasan dalam melakukan sesuatu. Biasanya individu dengan kecenderungan menyenangkan orang atau people pleaser akan sulit mengatakan tidak,” jelasnya.

Ia menambahkan bahwa menjadi seorang people pleaser dapat melelahkan fisik dan mental. Hal ini terus berdampak seseorang mengalami gangguan kecemasan dan tertekan karena tidak bisa mengekspresikan diri. 

“Dampak dari people pleaser ini mengakibatkan seseorang untuk memendam amarah karena sebenarnya dia tahu kalau dia dimanfaatkan oleh orang-orang sekitar. Hal ini dapat memicu frustasi dan dan membuat seseorang menjadi depresi dan menjadi boomerang pada diri sendiri karena rasa amarah yang dipendam bisa meledak dan malah memicu penyakit tertentu,” ungkapnya.

Ia juga menerangkan bahwa memelihara sifat people pleaser menandakan seseorang merasa kedudukan diri sendiri lebih rendah dari pada orang lain dalam mengedepankan kepentingan maupun perasaan orang lain. Lebih lanjut, kebiasaan itu dapat mengakibatkan seseorang terbiasa merendahkan diri. Sehingga pentingnya seseorang berhenti menjadi people pleaser agar hidup lebih bahagia. 

“Apabila kamu merasa dipandang sebagai orang yang terlalu baik dan merasa saat nanti kamu mau berubah terlihat seperti orang jahat maka perubahan tanpa meninggalkan perasaan itu dapat dilakukan,” ungkapnya.

Terakhir, ia berpesan bahwa berbuat baik memang baik, namun tetaplah membuat batasan diri agar tidak dimanfaatkan orang lain. Dan cobalah untuk lebih peka terhadap situasi dan kondisi.

Sementara itu, Lika menilai bahwa menolak orang lain bukan berarti jahat, karena itu berikan pengertian kepada seseorang bahwa tidak bisa memberikan bantuan seperti yang diharapkan dan juga juga tidak membiasakan untuk meminta maaf jika tidak perlu.

“Meninggalkan sikap people pleaser mengakibatkan sikap overthinking dengan pemikiran orang lain. Sebaiknya kita mulai cuek dan mencoba tidak peduli dengan pemikiran orang lain karena hanya kita yang memahami diri kita seutuhnya sehingga yang paling paham adalah diri sendiri bukanlah orang lain,” jelasnya.

Terakhir, ia memberi saran bahwa menolong orang lain merupakan perbuatan baik. Tetapi seseorang tidak perlu berlebihan sampai merelakan segala cara dan mengesampingkan diri. (PN/ESP)