Neoliberalisme dan Peran Intelektual Publik

Selamat atas amanah baru, jabatan profesor, untuk Prof. Sugini. Beliau adalah profesor ke-28 yang lahir dari rahim Universitas Islam Indonesia (UII). Saat ini, alhamdulillah, saat ini proporsi dosen yang menjadi profesor adalah 3,5% (28 dari 790 dosen). Secara nasional, persentase profesor baru sekitar 2% dari seluruh dosen di perguruan tinggi.

Prof. Sugini adalah profesor perempuan ke-4 di Universitas Islam Indonesia dan profesor perempuan pertama di Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Hal ini merupakan pencapaian yang perlu disyukuri bersama.

Saat ini, UII masih mempunyai 66 dosen bergelar doktor yang sudah menduduki jabatan akademik Lektor Kepala. Mereka semua adalah para calon profesor. Semoga semuanya tercapai dalam waktu yang tidak terlalu lama.

 

Mendefinisikan intelektual publik

Jabatan akademik profesor merupakan kewenangan akademik tertinggi bagi insan akademik. Ada kuasa akademik merdeka yang menyertainya.

Hal ini mengingatkan saya kepada salah satu fragmen dalam film Spiderman, ketika Ben Parker —paman Peter Parker alter ego Spiderman— akan meninggal dunia. Ben Parker berpesan kepada Spiderman, “with great power comes great responsibility”. Kuasa yang besar diiringi dengan tanggung jawab besar. Adagium ini tampaknya relevan untuk kita renungkan di momen yang membahagiakan ini.

Jabatan profesor merupakan kuasa akademik besar. Kehadirannya juga dibarengi dengan tanggung jawab besar. Pesan ini insyaallah valid untuk semua profesor, termasuk saya, dan bahkan semua dosen.

Apa tanggung jawab besar tersebut? Banyak. Salah satunya adalah menjadikan diri sebagai intelektual publik. Edward Said, yang sangat terkenal dengan bukunya yang berjudul Orientalism itu, mendefinisikan intelektual publik dengan sangat apik.

Dalam terjemahan dan rangkuman bebas, bagi Said (2001) dalam tulisannya berjudul “On defiance and taking positions”, intelektual publik adalah mereka yang

  • menguasai bidang disiplinnya,
  • tajam dalam analisis literatur,
  • melihat bahwa menjadi intelektual adalah pilihan karier,
  • merasa perlu masuk ke dalam ruang publik dan melantangkan kebenaran kepada yang berkuasa, dengan mempertanyakan, menginterpretasikan, dan memahami otoritas daripada mengkonsolidasikannya,
  • keluar dari pagar akademik untuk menghubungkan diri, mengafiliasikan diri, dan menyeleraskan diri dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat,
  • berfungsi sebagai memori publik yang mengingatkan yang terlupa atau terabaikan,
  • menyampaikan hubungan kuasa dan politik yang tersembunyi dari pandangan publik,
  • memberikan alternatif terhadap kebijakan yang salah.

Operasionalisasi ini sejalan dengan konsep ulul albab yang sering menjadi kosa kata sehari-hari di kampus kita.

Jika diringkas, intelektual publik akan selalu menghubungkan disiplin yang digelutinya dengan masalah nyata masyarakat dan melibatkan diri untuk menawarkan solusi. Dalam menjalankan peran ini, paling tidak diperlukan dua hal. Pertama, keberanian keluar ke ruang publik dengan mengambil posisi yang jelas, dan kedua, sensitivitas dalam melihat masalah publik. Intelektual publik akan memunculkan pertanyaan moral yang sering kali tersembunyi di balik keributan dan hiruk-pikuk debat publik.

 

Intelektual publik di tengah pusaran neoliberalisme

Dalam konteks pendidikan tinggi, salah satu isu yang perlu mendapatkan perhatian para intelektual publik adalah jebakan mazhab neoliberalisme. Mazhab ini seakan sudah menjadi satu-satunya norma baru yang paling lazim. Kita berada di tengah pusarannya.

Terkait dengan ini, Henry Giroux (2015) menawarkan narasi yang penting dan relevan untuk kita simak bersama. Mazhab neoliberalisme telah memreteli perguruan tinggi sehingga tidak lagi menjadi situs tempat berkembangan pemikiran kritis dan menjauhkannya dari iklim demokrasi yang sehat. Pendekatan yang diadopsi oleh perguruan tinggi didorong penuh oleh ideologi pasar.

Bagi Giroux, pendidikan telah direduksi menjadi pelatihan, nilai-nilai publik ditransformasikan menjadi nilai-nilai instrumental mentah, pendidikan publik dianggap sebagai sistem operasi, yang beranggapan bahwa pemecahan masalah hanya dapat dilakukan melalui kuantifikasi, data numerik, dan hitungan-hitungan efisiensi semata.

Lebih lanjut, Giroux, menuliskan bahwa mazhab neoliberalisme menganggap bahwa masyarakat adalah fiksi, tata kelola harus didorong ideologi pasar, deregulasi dan komodifikasi adalah kendaraan untuk kebebasan, kebutuhan masyarakat harus ditaruh di bawah kepentingan pribadi, budaya keuangan harus menjadi panglima dalam semua kehidupan sosial, dan pendidikan tinggi harus melayani kebutuhan korporat dan menempatkan kebaikan publik para posisi pinggiran.

Ujungnya adalah bahwa ukuran keberhasilan mewujud dalam bentuk keuntungan finansial semata. Keterlibatan dalam masalah publik dan ruang publik yang didedikasikan untuk kebaikan bersama akan dilihat sebagai hambatan menuju masyarakat yang dikendalikan oleh pasar atau alibi atas tata kelola yang tidak efisien.

Intelektual publik, juga dapat bergabung dengan publik secara lebih luas untuk merespons masalah-masalah sosial, memberi bantuan kepada gerakan dan organisasi lain yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan. Kadang, intelektual publik juga bekerja sama dengan pemerintah untuk membangun dunia yang lebih adil dan demokratis (Fung, 2011).

Pentanyaan yang relevan untuk kita ajukan kemudian adalah: Apakah masih mungkin bagi kita untuk lari dari jerat mazhab neoliberalisme yang sudah menjadi norma baru dan ideologi pasar yang sudah mempengaruhi alam bawah sadar kita? Apakah mungkin, misalnya, mencari jalan tengah, dengan menjalankan praktik yang terkesan berangkat dari mazhab neoliberalisme, tetapi disuntik dengan nilai-nilai lain yang menempatkan kepentingan publik pada posisi tinggi?

 

Epilog: menjaga akal sehat

Saya tidak akan melanjutkan diskusi ini secara lebih detail dan ingin menjadikan isu ini sebagai bahan refleksi bersama. Sebagai intelektual publik, sikap skeptis dan selalu mempertanyakan kemapanan menjadi bahan bakar untuk menjaga akal sehat. Tidak untuk mengedepankan sikap nyinyir, tetapi untuk senantiasi mencari peluang perbaikan di masa depan.

Para pembaca, boleh sepakat atau tidak dengan narasi yang saya usung dalam tulisan singkat ini. Jika tidak, itulah indahnya dunia akademik, ketika keragaman pemikiran mendapatkan tempat selama dilandasi dengan argumentasi yang memuliakan akal sehat.

Sekali lagi selamat. Juga, kepada keluarga Prof Sugini, suami dan anak yang selalu mendukung.

Semoga jabatan ini membuka berjuta pintu keberkahan, tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi terlebih untuk lembaga dan masyarakat luas.

Semoga Allah meridai UII dan kita semua.

 

Referensi

Fung, A. (2011). The constructive eesponsibility of intellectuals. Boston Review. Tersedia daring: https://www.bostonreview.net/articles/archon-fung-noam-chomsky-responsibility-of-intellectuals/

Giroux, H. A. (2017). Neoliberalism’s war against higher education and the role of public intellectuals. Dalam The future of university education (pp. 185-206). Cham: Palgrave Macmillan.

Said, E. (2001). On defiance and taking positions. Dalam Reflections on exile and other essays (hal. 500-506). Cambridge: Harvard University Press.

Sambutan pada acara serah terima Surat Keputusan Kenaikan Jabatan Akademik Profesor Dr. Ir. Sugini, M.T. di Universitas Islam Indonesia pada 15 November 2022.