Membedah Perkawinan Beda Agama di Indonesia Dari Perspektif Hukum
Departemen Hukum Perdata dan Pusat Studi Hukum Islam (PSHI) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) menggelar webinar nasional “Kerangka Hukum Perkawinan Beda Kepercayaan di Indonesia”. Acara yang digelar pada Selasa (16/8) berlangsung melalui Zoom Meetings dan disiarkan langsung melalui kanal YouTube Fakultas Hukum UII.
Dalam sambutannya, Dr. Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang Sumber Daya FH UII menyampaikan keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia membawa konsekuensi terjadinya perkawinan antara mereka yang berbeda agama atau keyakinan. “Kita tahu sampai saat ini perkawinan beda agama cukup mendapat sorotan dari masyarakat, baik masyarakat akademis, umum maupun masyarakat pemuka agama,” tutur Sri Hastuti.
Menurutnya, persoalan ini tidak bisa dianggap hanya implikasi dari sifat pluralisme di Indonesia. Perlu dipikirkan secara serius karena berimplikasi pada persoalan hukum. “Perkawinan yang memang bingkainya ranah privasi, harus ditarik ke ranah publik, karena mendorong negara untuk mengeluarkan regulasi terkait persoalan perkawinan beda keyakinan,” tegas Sri Hastuti.
Sesi materi pertama yang disampaikan oleh Bagya Agung Prabowo SH., M.Hum., Ph.D. menjelaskan sebelum berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan beda kepercayaan termasuk jenis perkawinan campuran yang diatur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898 No. 158, yang biasanya disingkat dengan GHR. Dalam pasal 1 GHR ini disebutkan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan.
Namun setelah berlakunya UU Perkawinan, perkawinan beda kepercayaan bukan lagi termasuk dalam perkawinan campuran, sehingga akhirnya menjadi polemik tersendiri.
UU Perkawinan tidak mengatur secara jelas tentang perkawinan beda kepercayaan, hal ini membuat pelaksanaan perkawinan beda kepercayaan tersebut menjadi relatif sulit. Dalam UU Perkawinan Pasal 2 bahkan disebutkan bahwa perkawinan adalah sah terjadi apabila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing. “Sehingga perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan hukum agama dianggap tidak sah,” tegas Bagya Agung.
Sesi materi kedua dengan pemateri Bambang Purwadi, SH., M.H. selaku Kepala Dinas Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil menyampaikan prosedur pencatatan perkawinan.
“Terkait perkawinan masuk pada Disdukcapil yang bertugas untuk mendaftar setiap peristiwa kependudukan dan setiap peristiwa penting,” ungkap Bambang. Peristiwa kependudukan adalah peristiwa atau kejadian yang dialami penduduk yang harus dilaporkan, karena membawa akibat perubahan pada KK, KTP elektronik dan surat kebutuhan lainnya. Lingkup kewenangan Disdukcapil adalah mencatat adanya peristiwa penting, kejadian yang dialami seseorang mulai dari kelahiran kemudian kematian, pengakuan anak, pengesahan anak, perubahan status, dan juga peristiwa perkawinan.
Pencatatan perkawinan pada Disdukcapil merupakan gerbang kedua setelah perkawinan berlangsung. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Bambang menyampaikan dasar hukum pencatatan perkawinan, misalnya: (1) UU No. 23 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Administrasi Kependudukan, (2) Perpres No. 96 tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, (3) Permendagri No. 108 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 96 Tahun 2018, dan lain sebagainya.
Lebih lanjut pada sesi materi ketiga, Muh. Djauhar Setyadi, SH., M.H. selaku Hakim Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta memberikan gambaran bagaimana ketika hakim mencoba untuk memeriksa perkara atau permohonan perkawinan beda agama. Penetapan diberikan Hakim terhadap perkara Permohonan atau yurisdiksi Voluntair. Selanjutnya, kewenangan memeriksa dan mengabulkan permohonan apabila hal itu ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
“Penetapan ini dapat diajukan sebagai upaya hukum kasasi,” ungkap Djauhar. Permohonan dalam konteks perkawinan adalah permohonan untuk memperoleh izin melaksanakan kawin beda agama yang bersifat kepentingan sepihak semata tanpa sengketa dengan pihak lain.
Pertimbangan hakim dalam membuat penetapan berdasarkan pada, (1) permohonan harus memiliki dasar hukum yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, (2) permohonan tidak bertentangan dengan kompetensi absolut dan kompetensi relatif Pengadilan, (3) Fundamentum petendi (Posita) terdapat hubungan hukum antara pemohon dengan permasalahan hukum dimohonkan. (LMF/ESP)