Neoliberalisme Perguruan Tinggi

Mengelola perguruan tinggi, di masa seperti sekarang ini, tak mungkin berhasil tanpa ikhtiar sepenuh hati. Beragam tantangan terhampar di depan mata, yang mengharuskan direspons dengan tepat.

Perubahan lanskap lapangan permainan yang sangat cepat, telah menghadirkan beragam dilema yang memerlukan pemikiran ekstra untuk membuat pilihan yang bermartabat.

Beberapa dilema terlihat komplementer, saling melengkapi, tetapi di tataran operasional, tak jarang, pilihan harus diambil, karena sumber daya yang terbatas. Situasi menjadi semakin sulit, jika pilihan yang ada bisa saling menegasikan atau bersifat diametral yang berpotensi melanggar nilai-nilai fondasi perguruan tinggi.

Izinkan saya berbagi perspektif untuk satu dilema yang terkait dengan pilihan pijakan dalam mengelola perguruan tinggi.

 

Gaya neoliberal

Jika kita kritisi secara jujur, banyak praktik pendidikan tinggi di Indonesia, dan juga berlahan dunia lain, yang terjebak pada pijakan neoliberalisme. Indikasinya beragam. Termasuk di dalamnya korporatisasi perguruan tinggi, dengan segala turunannya.

Sebagai contoh, perguruan tinggi hanya dianggap sebagai penghasil lulusan sebagai bagian dari mesin produksi dan bukan manusia yang harus dimuliakan semua potensi kemanusiaannya. Akibatnya, materi menjadi ukuran dominan.

Di dalam perguruan tinggi pengamal neoliberalisme, relasi antaraktor juga sangat hirarkis dan karenanya birokratis. Pemimpin perguruan tinggi seakan menjadi bos besar dengan segala titahnya. Ruang diskusi yang demokratis akibatnya tidak mendapatkan tempat. Demokrasi mati di rumahnya sendiri.

Dosen dianggap sebagai buruh korporat dengan segepok daftar indikator yang harus dipenuhi, dan bukan sebagai kolega intelektual yang setiap capaiannya merupakan manifestasi dari kesadaran dan tanggung jawabnya sebagai akademisi. Praktik yang pertama bisa menjebakkan dosen kepada mental pengguguran kewajiban, sedang yang kedua dapat menghasilkan entakan kuat untuk perubahan.

Mahasiswa pun tak lebih dari sekumpulkan konsumen yang harus dipuaskan. Hubungan yang terjadi pun menjadi sangat transaksional. Mereka tidak dilihat sebagai pembelajar yang haus ilmu pengetahuan atau aspiran yang perlu pendampingan dalam pengembaraan intelektual.

Pijakan neoliberalisme pun dapat menjelma dengan sistem metrik untuk mengukur semua kinerja, yang mengandaikan keseragaman dan mengabaikan idealisme, keunikan misi, dan faktor kesejarahan. Selain itu, semua yang tidak masuk metrik seakan tidak penting dan bisa diabaikan begitu saja.

Karenanya tidak jarang, beragam tindakan yang berpotensi melanggar etika pun seakan menjadi halal dilakukan selama kinerja dapat dicapai, termasuk dalam terkait pemeringkatan.

Pemeringkatan dianggap sebagai harga diri yang harus dikejar dengan segala harga, termasuk menggunakan jalan pintas dan bahkan menggunting dalam lipatan, meski kadang harus menjauhkan perguruan tinggi dari idealismenya.

Yang lain saja melakukan” seakan menjadi alasan untuk menjadikan semua urusan menjadi halal.

Hasil pemeringkatan pun tak jarang dikapitalisasi dengan bingkai pongah yang merendahkan perguruan tinggi lain. Perguruan tinggi ini seakan seperti anak kecil, yang belum mumayiz secara intelektual, yang naik meja di tengah kerumunan dan menepuk dada: “Akulah yang terbaik.”

 

Autokritik dan dilema

Bisa jadi perguruan tinggi kita juga terjebak dalam praktik seperti. Inilah saatnya berhenti sejenak untuk melakukan refleksi secara kolektif.

Saya sangat paham, lari dari jebakan ini tidak mudah, apalagi  praktik tersebut seakan sudah menjadi norma baru, yang diperkuat dengan kebijakan yang mengekang, tanpa pilihan.

Tapi saya termasuk yang masih menjaga optimisme. Semoga saja kesadaran baru segera muncul di banyak perguruan tinggi. Indikasinya pernah terlihat. Sebagai contoh, ketika tahun lalu buku besutan Peter Fleming, Dark Academia: How Universities Die, terbit, beragam diskusi pun digelar di Indonesia.

Memang, sangat mungkin kita tidak sepakat dengan setiap argumen Fleming, tapi banyak pesan di dalamnya yang seakan menjadi deja vu: “Kok rasanya pernah melihat kasus seperti itu ya“.

Kalau kita mau jujur, banyak praktik yang dikritisi di buku tersebut terjadi di sekitar kita, atau bahkan, kita sendiri menjadi pelakunya.

Tapi, sejurus kemudian, pesan penting itu kembali terkubur di bawah kesibukan administratif yang luar biasa, dan praktik yang ada pun seakan kembali ke sedia kala. Bahkan di sisi hulu, paradigma sebagai basis kebijakan pun tidak banyak berubah. Kita pun akhirnya kembali  hidup tenang karena mendapatkan pembenaran.

Apakah memang ini jalan yang akan kita pilih untuk masa depan? Saya tidak menjawabnya di sini, tapi membiarkan terbuka menjadi pekerjaan rumah masing-masing.

Saya percaya masa depan tidak tunggal, tetapi jamak. Karenanya, beragam imajinasi yang berangkat dari fakta mutakhir, perlu dihargai. Itulah indahnya dunia akademik, ketika beragam pemikiran mendapatkan tempat, selama diikut dengan argumen kuat.

Sebagai tambahan pekerjaan rumah, masih banyak dilema yang bisa diungkap. Termasuk di antaranya adalah dilema antara

  1. memberikan fokus kepada penyelesaikan masalah lokal atau berjuang untuk menjadi pemain global,
  2. meningkatkan kualitas akademik dengan menghsilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bernas atau menggesernya kepada komersialisasi,
  3. mengejar pertumbuhan substantif yang memerlukan waktu atau pertumbuhan superfisial yang instan, dan
  4. menjaga moral akademik kualitas tinggi atau sekedar menggugurkan kewajiban.

Daftar dilema ini, tentu, masih bisa diperpanjang. Ini menambah daftar pekerjaan rumah untuk direfleksikan, sebagian bagian kritis terhadap masa kini.

Pidato pelantikan Rektor Universitas Islam Indonesia Periode 2022-2026, pada 2 Juni 2022.