Peluang Senyawa Strigolactone Sebagai Terapi Kanker Kolorektal

Kanker kolorektal adalah kanker yang tumbuh di usus besar (kolon) atau di bagian paling bawah usus besar yang terhubung ke anus (rektum). Fathiyatul Mudzkiroh, Dita Juliana Pravita, dan Shinta Marcelyna dari Tim Fakultas Kedokteran (FK) UII menaruh perhatian dalam upaya memerangi kanker tersebut. Melalui makalah berjudul “Potential of Strigolactone Analog Encapsulated with Epcam Aptamer-Liposome Nanoparticle Based as Targeted Therapy for Colorectal Cancer”, mereka menawarkan ide terapi kanker itu.

Ide ini mendapat apresiasi pada ajang ilmiah internasional IV-International Conference of Food, Agricultural, And Veterinary Sciences yang diadakan oleh Van Yüzüncü Yıl University yang diselenggarakan pada 27-28 Mei 2022 secara daring melalui zoom.

Tia menyampaikan alasannya mengambil topik tersebut karena kurangnya modalitas penyembuhan pada kasus kanker kolorektal yang sudah menyebar. Cara seperti laparoskopi dan operasi terbuka menurutnya kurang efektif untuk penyembuhan kasus tersebut. Sehingga mengakibatkan kematian yang tinggi di dunia.

Akhirnya tim mereka mencoba melakukan riset dan menemukan literasi ilmiah terkait peran senyawa strigolactone pada penyembuhan kanker kolorektal yang sudah menyebar. Strigolactone merupakan senyawa pada tumbuhan Striga Sp. Saat ini, strigolactone banyak disintesis menjadi analognya dan digunakan dalam penelitian antikanker. Cara kerjanya dengan menurunkan konsentrasi cyclin B1, kemudian diikuti penurunan kadar Cdc25C yang seharusnya berperan dalam aktivasi CdK1. Ujungnya akan membuat sel tetap berada pada fase G2 sehingga menghambat proliferasinya (pengulangan siklus sel).

Atas keterbatasan studi saat ini, Dita menjelaskan jika senyawa strigolactone bisa dikembangkan lagi untuk terapi selain kanker kolorektal. Melihat kemungkinan jika jenis kanker tersebut mengekspresikan EpCAM (sebuah protein transmembran spesifik) sehingga jika EpCAM diekspresikan, dapat ditarget oleh EpCAM-aptamer yang digunakan dalam modifikasi liposom. “Jadi ada kemungkinan senyawa strigolactone sebagai terapi berbagai jenis kanker,” jelasnya.

Lebih lanjut, Sely menjelaskan senyawa strigolactone pertama kali ditemukan pada tanaman Striga Sp. Tanaman ini merupakan gulma parasit tanaman pangan dan dijuluki sebagai rumput setan (Witchweed).

Ia menawarkan kebaruan dalam pemanfaatan senyawa strigolactone sebagai terapi kanker kolorektal yang sudah menyebar. Caranya dengan mengkombinasikan strigolactone yang merupakan senyawa analog kemudian dienkapsulasi dengan liposom agar dapat bertahan dalam darah. Selain itu, liposomnya dimodifikasi dengan aptamer EpCAM sehingga dapat menarget sel kanker kolorektal lebih spesifik dan menghindarkan sel sehat dari toksisitas yang tidak diinginkan.

Selain itu, Tia juga mengajukan nanoliposome dengan cara nanocarrier. Yakni dengan cara pengeringan lipid dari larutan organik, pemisahan lipid dalam media aqueous, pemurnian hasil liposom, dan analisis produk final. Nanocarrier itu banyak jenisnya. Salah satunya adalah liposom. Mereka memilih liposom karena memiliki bagian dalam yang hidrofilik sehingga dapat dijadikan pembawa strigolactone yang bersifat hidrofilik. 

Kemudian bagian luar liposomnya juga dapat dimodifikasi menggunakan aptamer. Pada kasus kanker kolorektal, aptamer yang dipilih adalah EpCAM aptamer karena dapat menarget spesifik pada sel kanker kolorektal.

Tia menjelaskan saat ini pemanfaatan senyawa strigolactone masih diuji cobakan pada mencit. Dia berharap makalah yang ia tulis dapat membuka peluang inovasi pengobatan kanker kolorektal yang saat ini sangat berisiko jika telah mencapai fase lanjut. (UAH/ESP)