Menjadi Ahli Yang Bermakna
Izinkan saya, di saat yang berbahagia ini, untuk berbagi perspektif yang semoga relevan untuk kita semua, dan terutama untuk para profesor, yang ahli di bidangnya masing-masing.
Matinya kepakaran
Lima tahun lalu, pada 2017, Oxford University Press menerbitkan sebuah buku yang langsung menjadi pergunjingan publik di banyak pojok dunia, termasuk Indonesia. Buku itu ditulis oleh Tom Nichols (2017) dan berjudul The Death of Expertise, matinya kepakaran. Meskipun didasarkan pada kasus di Amerika Serikat, tetapi topik yang dibahas sangat relevan untuk konteks lain, termasuk Indonesia.
Beragam informasi di dalam buku tersebut memerlukan benang merah untuk memahaminya. Misalnya, buku ini melacak mengapa kepercayaan terhadap para ahli mengalami penurunan. Isu membanjirnya informasi salah atau hoaks di Internet juga dibahas di sana. Peran ahli seakan sudah tergantikan oleh orang banyak, dengan beragam mekanisme. Salah satunya, karena informasi beragam subyek yang tersedia di kanal publik, terutama Internet. Di sini, jurnalisme dianggap mempunyai peran penting karena menjadi jembatan antara para ahli dan publik.
Ilustrasi yang diberikan untuk dunia kampus pun serupa. Mahasiswa dapat merasa sudah menyamai para dosen atau profesor yang sudah mendalami topik bahasan cukup lama. Yang menarik, Nichols, penulis buku, menghubungkan fenomena sebagai akibat tren mutakhir, yaitu pendekatan korporatisasi kampus yang melihat pendidikan sebagai komoditas dan menempatkan mahasiswa sebagai konsumen, dan bukan sebagai pembelajar.
Menurut saya, banyak implikasi sosiologis atas perspektif ini. Ketika mahasiswa dianggap sebagai konsumen, mereka akan memerankan diri dengan cara berbeda ketika berhadapan dengan kampus. Pola pikir transksional pun wajar jika mengemuka. Berbeda halnya, jika mereka menjadi aspiran dalam proses pembelajaran. Dosen atau profesor akan dilihat dengan kacamata berbeda yang lepas dari jerat transaksional.
Sebagai tambahan ilustrasi, ketika pandemi menyerah, pendapat para ahli kesehatan di Amerika Serikat, dan termasuk juga di Inggris dan Brazil, untuk menyebut beberapa, tidak dianggap penting sebagai basis kebijakan pemerintah (Zakaria, 2020).
Di belahan dunia lain, seperti Jerman dan Taiwan, kebijakan pemerintahnya dengan tegas berkiblat pada sains. Mereka mendengarkan saran para ahli dengan serius dan menerjemahkannya menjadi kebijakan nasional yang konsisten (Zakaria, 2020).
Beberapa saran
Pertanyaan nakal selanjutnya adalah, apakah pendapat ahli harus selalu didengar? Atau, apakah memang betul bahwa pendapat publik, atau mahasiswa dalam konteks kampus, tidak mengandung kebenaran? Apakah betul bahwa para ahli, termasuk profesor, menjadi kaum elit yang tidak kalis dari kritik soal kualitas pendapat akademiknya?
Nichols, penulis buku, memberikan beberapa saran kepada para ahli. Termasuk di antaranya adalah mengajak para ahli untuk lebih rendah hati. Mereka seharusnya tidak berlagak elitis dan tercerabut dari konteksnya berpijak.
Selain itu, para ahli juga diharapkan memperkaya variasi sumber informasinya, supaya tidak terjebak di kamar gema (echo chamber) yang menjadikan narasi seakan tunggal tanpa bandingan.
Selain itu, validitas informasi perlu diperiksa dengan cermat. Di sini, kita bisa menambahkan, kegagalan dalam menjalankan ini, para ahli sangat mungkin memunculkan pendapat akademik yang kurang tepat karena tanpa dukungan data yang cukup.
Di sisi lain, fenomena ini juga menantang para ahli untuk lebih sering melantangkan beragam pendapat intelektualnya dengan jujur dan yang relevan dengan kebutuhan publik. Sensitivitas intelektualisme perlu terus terus diasah.
Namun di sini, jebakan lain bisa muncul, karena terkooptasi oleh kuasa lainnya, termasuk kuasa uang dan kuasa politik (lihat misalnya Dhakidae, 2003). Jika ini terjadi, pendapat ahli dapat menjadi tumpul dan tidak lagi jujur, karena mengikuti pesan sponsor.
Pelajaran yang dituliskan oleh Fareed Zakaria (2020) dalam bukunya Ten Lessons for a Post-pandemic World, seakan merangkum narasi yang disampaikan oleh Nichols. Berdasar kasus Amerika Serikat ketika melawan pandemi Covid-19, Zakaria mengemukakan bahwa khalayak, termasuk pemerintah, harus mendengarkan para ahli, dan para ahli juga harus mendengarkan khalayak.
Saya tambahkan di sini, semuanya perlu dilakukan dengan kejujuran. Pelajaran ini valid juga untuk konteks Indonesia dan banyak belahan bumi lain.
Hanya dengan demikian, kehadiran para ahli menjadi bermakna dan pendapatnya menjadi bernas dan relevan, karena didasari pemahaman yang mendalam dan mutakhir atas konteks. Sangat jelas, para profesor adalah bagian dari para ahli ini.
Semoga Allah meridai UII dan kita semua.
Referensi
Dhakidae, D. (2003). Cendekiawan dan kekuasaan dalam negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nichols, T. (2017). The death of expertise: The campaign against established knowledge and why it matters. Oxford: Oxford University Press.
Zakaria, F. (2020). Ten lessons for a post-pandemic world. New York: W. W. Norton & Company.
Sambutan pada acara Serah Terima Surat Keputusan Penngkatan Jabatan Akademik Profesor untuk Prof. M. Syamsuddin, S.H., M.H. pada 31 Maret 2022.