Menelaah Makna Islamisasi Ilmu dalam Hubungan Internasional
Dalam memandang sebuah fenomena atau isu yang terjadi di dalam dunia Hubungan Internasional, penggunaan konsep dan metodologi pemikiran Islam untuk menjelaskan hal-hal tersebut masih sangat jarang dilakukan. Terlebih lagi Hubungan Internasional sebagai sebuah disiplin ilmu lahir dari para pemikir negara barat, sehingga wajar bila konsep-konsep yang ada di dalamnya masih berada dalam bingkai pemikiran barat.
Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai pelopor pemikiran ilmiah yang tetap berpegang pada nilai-nilai religious, memiliki perhatian yang sangat besar akan hal ini. Untuk menindak lanjuti hal tersebut, Institute for Global and Strategic Studies (IGSS) yang berada di bawah naungan program studi Hubungan Internasional UII mengadakan webinar dan kongres dengan tema “integrasi dan islamisasi ilmu pengetahuan di perguruan tinggi: filosofi dan aksi” pada sabtu (19/3).
Webinar tersebut menggandeng the Indonesian Islamic studies and international relations association (INSIERA) untuk memperluas jangkauan pembahasan tentang islamisasi ilmu. INSIERA adalah sebuah asosiasi inklusif berbasis keanggotaan yang mewadahi akademisi, praktisi, dan peminat studi keislaman dan hubungan internasional di seluruh Indonesia.
Selain IGSS dan INSIERA, Universitas Darussalam Gontor (UNIDA) juga turut meramaikan webinar ini dengan kehadiran Rektor UNIDA, Prof. Dr. K.H. Hamid Fahmy Zarkasyi sebagai salah satu pemateri. Bersama dua narasumber lain yaitu Dr. Surwandono yang merupakan ketua umum INSIERA serta Hasbi Aswar, Ph.D sebagai perwakilan Peneliti IGSS dan dosen Hubungan Internasional UII.
Dalam pemaparan materi pertama, Prof. Hamid Fahmy mengangkat tema worldview asas paradigma & islamisasi. Menurutnya, islamisasi merupakan sebuah materi yang sangat kompleks, sehingga UNIDA meletakkan islamisasi sebagai materi dalam satu semester untuk mahasiswa S1 dan S2. Ia menambahkan bahwa banyak diskusi yang diperlukan antara pemikir lintas disiplin ilmu agar masing-masing dapat memahami kebutuhan dan titik integrasi antara islam dan ilmu pengetahuan.
Prof. Hamid Fahmy juga sangat mendukung Langkah-langkah para akademisi dan praktisi dalam mengintegrasikan antara pandangan Islam dan ilmu pengetahuan. “Saya mengapresiasi acara ini, yang bagi saya adalah satu Langkah yang sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan Islam,” tuturnya.
Ia memadatkan materi dengan menyampaikan definisi worldview sebagai basic believe yang melandasi semua ilmu pengetahuan yang ada di dunia. Sementara konsep worldview dalam Islam adalah Islam itu sendiri lah yang menjadi worldview dengan konsep keimanan sebagai asasnya. Kedua hal tersebut menjadi alasan mengapa pandangan umum dan Islam terhadap ilmu pengetahuan menjadi berbeda, namun tetap pada asumsi dasar akan pentingnya worldview dalam kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Satu hal yang juga membedakan ilmu barat dan Islam adalah awal kemunculannya. “Jadi keraguan adalah awal dari ilmu pengetahuan di barat, sementara kita bermula dari keyakinan,” ucap Prof. Hamid Fahmy saat menjelaskan pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Lebih lanjut Prof. Hamid Fahmy menjelaskan bahwa ummat Islam menghadapi tantangan terbesar dalam ilmu pengetahuan, yaitu bahwa ilmu pengetahuan modern yang tidak netral telah merasuk ke dalam praduga-praduga agama, budaya, dan filosofis. Hal inilah yang menjadi dasar keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern harus diislamkan.
Bagian kedua webinar ini diisi dengan materi evaluasi integrasi keilmuan dan Islam oleh Dr. Surwandono. Materi ini lebih banyak mengambil perspektif Hubungan Internasional. Ia menjelaskan beberapa kontroversi yang muncul dalam proses integrasi Islam dan ilmu pengetahuan. Integrasi antara Islam dan pengetahuan masih sangat minim dalam publikasi dalam dunia akademik, sehingga masih banyak kalangan akademisi yang asing dengan jenis integrasi ini.
Materi inti dari suwardono adalah elaborasi dari sebuah buku “Hubungan Internasional Dalam Islam”. Menurutnya, dalam buku tersebut ada 10 unsur muamalah di dalamnya, hal ini semakin memperkuat teori intergrasi antara Islam dan Hubungan internasional. Unsur-unsur muamalah tersebut tidak bisa dipungkiri hadir dalam fenomena-fenomena global yang terjadi belakangan ini. Sehingga gagasan Islam terbukti sangat cocok dengan apa yang kita kenal selama ini sebagai ilmu pengetahuan.
“Islam punya gagasan mulia yang sangat indah sekali yang itu diformulasi dengan sangat cantik, yang nanti kitab isa eksplorasi,” tutur Surwandono.
Sesi terakhir diisi oleh Hasbi Aswar, Ph.D. dengan materi yang lebih mengerucut lagi yaitu islamisasi dan politik. Ia membahas politik Islam dari perspektif islamisasi sehingga membuat asumsi yang cukup kontroversial. Pendekatan yang digunakan pun beragam seperti deskriptif, pembuat kebijakan, pretarungan ideologis, pendekatan keamanan, dan gerakan sosial.
Metodolgi Islam yang dibahas oleh Hasbi pada sesi ini menekankan bahwa islamisasi ilmu tidak selalu tentang dalil-dalil dan ayat tertentu. Bahkan terkadang tidak perlu untuk disampaikan. Ia membandingkan hal ini dengan pemikir barat yang menggunakan sekularisme sebagai bahan objektifikasi untuk argument-argumen yang dibawanya.
“Jadi kenapa kita harus merasa minder dengan islamisasi, kalau barat juga pede dengan sekularisasinya. Tapi poinnya bukan disitu, poinnya adalah seberapa kuat argument kita untuk menjelaskan kepada mereka bahwa kita lebih benar daripada mereka,” pungkasnya. (HM/RS)