Patriarki dan Matriarki Menurut Kacamata Islam
Maraknya pembahasan mengenai patriarki dan matriarki di tengah gelombang arus informasi memantik Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Bisnis dan Ekonomika (LEM FBE UII) untuk membahasnya. LEM FBE UII menggelar diskusi virtual bertema “Memberantas Budaya Patriarki dan Perspektifnya dalam Sudut Pandang Islam” pada Rabu (20/10). Pembicaranya adalah Listya Endang Artiani, S.E., M.Si. salah satu dosen di FBE UII sekaligus peneliti di Pusat Studi Gender UII.
Mengawali diskusi Listya mencoba untuk memberikan pemahaman secara gamblang dari definisi patriarki dan matriarki. Patriarki dinilai sebagai sebuah sistem sosial yang menempatkan pria sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti.
Sementara itu matriarki adalah dominasi kepemimpinan perempuan dalam masyarakat yang menurun dari dari garis ibu. Contoh konkrit yang dapat ditemukan dalam famili secara langsung. “Misal, saya berasal dari Jawa. Di dalam keluarga itu ada beragam latar belakang pendidikan, mulai dari doktor hingga profesor ada. Namun, yang dituakan tetap lelaki,” ujar Listya.
Budaya patriarki dianggap tidak hanya sebagai pemimpin atau tokoh adat lainnya, lebih dalam dari itu. Patriarki sendiri memberikan dampak kekerasan terhadap perempuan akibat posisi sosial kaum laki-laki yang lebih tinggi daripada kaum perempuan. Sehingga masyarakat cenderung menganggap wajar adanya perilaku pelecehan terhadap perempuan dalam bentuk sekecil apapun.
Melansir Asian Development Bank, terdapat beberapa penyebab kesenjangan gender di dunia kerja. Di antaranya adalah stigma bahwa perempuan lebih tidak produktif. Perempuan seringkali menerima upah lebih rendah dibandingkan dengan pekerja laki-laki meskipun waktu dan beban kerjanya sama. Selain itu, banyak perempuan mengalami diskriminasi termasuk dalam urusan pemilihan profesi.
Meninjau dari Perspektif Islam
Listya menjabarkan perspektif hukum Islam menganggap keduanya baik pria maupun wanita memiliki kedudukan yang seimbang dan memiliki hak dan kewajiban yang sesuai dengan proporsinya telah sesuai dengan ajaran Islam. “Islam sendiri datang ke bumi salah satunya membawa misi untuk memuliakan manusia dengan cara menyertakan kedudukan keduanya,” paparnya. Sikap adil, setara dan saling menghargai sesama manusia tanpa didasarkan perbedaan termasuk salah satu ajaran Islam. Dengan demikian, budaya patriarki tak sesuai dengan Islam.
Banyak yang mempertanyakan apakah patriarki merupakan warisan dari Islam? Jelas tidak menurut Listya. Prinsip yang telah dijabarkan sebelumnya telah mampu menjawab hal tersebut. “Justru budaya itu dikoreksi oleh Islam. Karena Islam memuliakan laki-laki dan perempuan,” tegasnya. Menurutnya, hal itu juga telah tegas dinyatakan di dalam ayat Al-Qur’an seperti Surat An-Naml ayat 23. “Ayat itu bercerita tentang perempuan yang bisa memimpin bangsa yang dikenal dengan kaum Saba dengan nama Balqis,” lanjutnya.
Kendati permasalahan pendidikan tidaklah menjadi isu utama dalam menjamin perempuan, tidak dapat dipungkiri bahwa aktualisasi diri perempuan Indonesia masih terpasung oleh stigma masyarakat. Padahal jika perempuan diberi kesempatan yang sama seperti laki-laki justru berpotensi besar dalam pembangunan di Indonesia.
Salah satu dampak dari patriarki adalah kekerasan perempuan dan anak. Dalam hal itu, negara mengupayakan untuk memitigasinya. Merespons hal tersebut dibentuklah Pusat Pelayanan Terpadu Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (PPT KTPA). Setiap rumah sakit dinilai harus menyediakan ini karena perempuan dan anak butuh penanganan khusus agar lebih maksimal dan leluasa dalam menyampaikan kekerasan yang dialami. “Itu perlu, walaupun tidak sepenuhnya kita mampu menghilangkan kekerasan. Kita hanya dapat menguranginya,” pungkas Listya. (KR/ESP)