Membangun Nilai-nIlai Cendikiawan Muslim

Jurusan Studi Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia (FIAI UII) menyelenggarakan diskusi nasional bertemakan “Revitalisasi Studi Tokoh Muslim Dalam Pengembangan Pemikiran Islam”. Acara yang diselenggarakan pada Sabtu (24/7) via Zoom tersebut mengundang Dr. Tamyiz Mukharrom, MA, Dekan FIAI UII, Drs. Suwarsono Muhammad, M.A Ketua Umum Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII, dan Dr, Aksin Wijaya, M. Ag. Dosen Pascasarjana IAIN Ponorogo.

Menurut Ketua Program Studi Ahwal Syakhshiyah Program Sarjana UII, Prof. Dr. Amir Mu’allim, M.I.S. selaku penyaji dalam diskusi, mempelajari tentang nilai-nilai tokoh intelektual Islam harus memiliki dasar yang kuat. Hal itu dimaksudkan agar diskusi yang dibahas itu tidak melampau jauh dari nilai nilai spiritual keislaman itu sendiri.

“Kalau kita membahas tentang Islam itu harus ada cantolan atau pegangannya, yaitu adalah Al qur’an dan yang kedua adalah hadist, karena itu adalah jaminan bagi kita semua. Kalau kita berbicara tentang pemikiran itu pasti aka nada banyak keragaman pendapat, pasti ada banyak argumentasi atau kepentingan, tapi saya yakin backgroundnya sama, yakni untuk kebaikan,” ucapnya saat memaparkan materi.

Ia juga mengungkapkan, dalam menelaah kajian mengenai studi pemikiran tokoh-tokoh Islam, maka diperlukan satu tokoh yang menjadi sandaran bagi seluruh ulama termasuk para cendikiawan. Hal tersebut dikarenakan nabi Muhammad merupakan manusia yang paling ideal dan paling pantas dijadikan suri tauladan.

“Kalau kita menyangkut masalah ketokohan maka kita harus ada ketokohan sentral, yaitu nabi Muhammad. Jadi nabi Muhammad itu tokoh sentral dan sekaligus tokoh inti. Oleh karena itu dari berbagai macam temuan pendapat pemikiran, itu semuanya dari dioalog ke dialog, tetap kembali lagi ke sentralnya yakni nabi Muhammad,” tuturnya.

Prof Amir Mu’allim juga menyayangkan kurangnya ambisi akademisi maupun pelajar dalam menggali nilai-nilai fundamental yang ada pada tokoh cendikiawan muslim. Bahkan banyak dari akademisi yang sibuk mendiskusikan tokoh muslim tetapi jarang yang mengamalkan keseharian tokoh tersebut, sehingga hal tersebut hanya berputar di pikiran semata bukan menjadi bagian dari aksi nyata dalam membangun nilai nilai keislaman.

Sepakat dengan Prof. Amir Mu’allim, pembicara berikutnya Suwarsono Muhammad juga turut mengomentari kurangnya minat para pelajar dan akademisi dalam menggali nilai nilai sejarah pada cendikiawan muslim. Ia juga mengajak akademisi UII khususnya FIAI untuk membuat biografi cendikiawan islam.

“Saya berpikir kenapa ya dosen UII khususnya dosen FIAI itu tidak menulis biografi cendikiawan muslim, padahal di sisi lain saya bisa menemukan tulisan tentang para tokoh itu banyak sekali. Jadi bagaimana kita bisa menulis biografi intlektual dari cendikiawan muslim, paling tidak satu chapter,” ucapnya.

Sementara Aksin Wijaya dalam paparannya menghimbau peserta diskusi untuk tidak fanatik terhadap intelektual muslim tertentu saja. hal tersebut dikarenakan tiap tokoh banyak dipengaruhi oleh perbedaan zaman dan letak geografisnya. Seghingga perbedaan pendapat antara satu tokoh dengan tokoh lainnya menjadi hal yang lumrah.

“Seorang pemikir yang hidup dalam sejarah yang berbeda dia akan mengalami perbedaan. Karena itulah pemikiran itu bersifat historis. Oleh Karena itu kita tidak boleh fanatik terhadap satu pemikiran, karena pemikiran itu ditentukan oleh historisitas dari seorang pemikir itu tadi,” ungkapnya. (AMG/RS)