Jangan Sepelekan Masalah Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Pentingnya menjaga kesehatan seksual dan reproduksi masih belum banyak disadari masyarakat. Pasalnya membicarakan hal tersebut masih dianggap tabu oleh sebagian orang. Setiap tahun sedikitnya 2 juta remaja di dunia melakukan unsafe abortion. Merespon hal itu, Srikandi UII mengadakan Webinar “Membangun Pemahaman Kesehatan Seksual dan Reproduksi Sedari Dini” dengan pembicara Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., SpOG(K)., Ph.D. (Dekan FK-KMK UGM dan Guru Besar Bidang Pendidikan Kedokteran).

Prof. dr. Ova Emilia mengawali paparannya dengan menyebut remaja adalah aset SDM yang sangat potensial. Menurutnya, usia remaja sangat rentan dengan berbagai problem terkait kesehatan seksual dan reproduksi, seperti risiko kehamilan yang tidak dikehendaki, risiko infeksi menular seksual (IMS) termasuk HIV/AIDS, unsafe abortion, dan kekerasan seksual. 

Ia menambahkan gender berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi remaja karena erat dengan peran dan hubungan dalam masyarakat maupun budaya. Gender mempengaruhi jika dikaitkan dengan harapan aktivitas seksual, pandangan tentang tanggung jawab kontrasepsi, konsekuensi sosial kehamilan, tingkat risiko infeksi HIV/AIDS, penerimaan kultur terhadap perilaku dan praktek merugikan serta interaksi klien-petugas terutama yang berbeda gender. 

Ia pun mewanti-wanti bahwa remaja di bawah 18 tahun rentan mengalami kesulitan persalinan karena kondisi tubuh yang belum siap. Kelahiran pertama biasanya akan mengalami perdarahan dan eklampsia sehingga cukup berisiko bagi ibu maupun bayi. 

Sedangkan praktek aborsi tidak aman juga masih tinggi. Kebanyakan disebabkan oleh kurangnya akses akan pelayanan kesehatan, biaya, minimnya tenaga kesehatan yang terampil, atau tertunda mencari pertolongan di 3 bulan awal. 

Perempuan yang melakukan aborsi tidak aman berisiko mengidap infeksi dan perdarahan. Sementara terjadinya IMS/HIV pada remaja dipengaruhi oleh kurangnya pengetahuan, kurang tepat penggunaan kontrasepsi, gagal mencari pengobatan maupun berganti-ganti pasangan. Dalam upaya mencegah kasus kekerasan seksual, remaja sangat memerlukan tameng berupa informasi, keterampilan, dan akses pelayanan yang memadai.

Riset menunjukkan pendidikan seks bermanfaat karena dapat memberi pemahaman tentang potensi apa yang dia miliki, keterampilan pada remaja untuk menunda aktivitas seksual, dan meningkatkan pemakaian KB. Pendidikan seks harus dilakukan sedini mungkin. 

Konselor pendidikan seks bagi remaja harus dengan waktu tunggu, layanan disesuaikan dengan kebutuhan remaja, transportasi tersedia, fasilitas kesehatan, dan menampakkan rasa hormat serta tidak menghakimi. Rahasia pasien juga harus dijunjung tinggi.

Terakhir, remaja memerlukan kecakapan hidup kesehatan reproduksi dengan mengenal dirinya sendiri, merencanakan masa depan, mengambil keputusan terkait seksualitas dan perilaku seksual, melindungi diri dari kekerasan dan pelecehan seksual, berempati terhadap orang lain, berkomunikasi dan bernegosiasi, mengelola stress, serta aktif mencari bantuan. (FHC/ESP)