,

Tanggapan UII atas Putusan Pengujian UU KPK

Cik Di Tiro (UII News) Sivitas akademika Universitas Islam Indonesia (UII) memberikan tanggapan atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam pengujian UU KPK. UII yang sejak awal menyuarakan penolakan terhadap proses dan substansi perubahan UU KPK telah mengajukan permohonan pengujian (judicial review) UU ke MK pada 7 November 2019 yang lalu. UU No 19 Tahun 2019 (UU KPK) sebagai revisi kedua atas UU No 30 Tahun 2002 dalam pembuatannya dinilai cacat formil dan materiil.

Ketua Tim Kuasa Hukum UII Anang Zubaidy, S.H., M.H. mengemukakan putusan MK dalam pengujian formil sama sekali tidak mempertimbangkan alasan-alasan yang disampaikan oleh para Pemohon sivitas akademika UII. MK menilai bahwa penolakan atas pengujian formil oleh Pemohon lain dapat diterapkan untuk permohonan yang diajukan oleh UII.

“Bagi UII, sikap MK yang mengabaikan alasan permohonan UII berkaitan dengan pengujian formil tidak tepat, tidak fair dan cenderung menggenaralisir persoalan. “Padahal, beberapa alasan yang UII sampaikan berbeda dengan yang disampaikan oleh Pemohon lain,” ungkap Anang Zubaidy pada konferensi pers yang digelar di Kampus UII Jl. Cikditiro No 1 Yogyakarta, Rabu 5 Mei 2021.

Disampaikan Anang Zubaidy, penggunaan data, kegiatan, laporan pembahasan usulan perubahan UU KPK yang dilakukan sejak tahun 2012 adalah pertimbangan yang tidak memadai. Data-data tersebut tidak ada hubungannya dengan Judicial Review (JR) yang diajukan. Penggunaan data telah dilaksanakannya seminar yang diselenggarakan di beberapa universitas, sebagai bentuk penyerapan aspirasi publik juga menyesatkan. Putusan ini justru tidak memberi penjelasan bagaimana suara publik yang muncul dalam berbagai seminar tersebut.

Lebih lanjut disampaikan Anang Zubaidy, sivitas akademika UII menilai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara luar biasa cepat juga melanggar asas keterbukaan dalam UU P3 dan sulit dipertanggungjawabkan secara akademik sehingga sangat berpotensi melanggar asas kedayagunaan dan kehasilgunaan.

Berikutnya pernyataan Majelis Hakim MK ada tidaknya demonstrasi tidak menentukan keabsahan formalitas pembentukan undang-undang. Pertimbangan ini nyata-nyata merupakan reduksi atas aspirasi substantif publik. Model reduksi atas gerakan masyarakat seperti ini sangat membahayakan demokrasi yang baru saja mulai tumbuh di Indonesia.

Sementara berkaitan dengan pengujian materiil yang dikabulkan oleh Majelis Hakim Konstitusi, sivitas akademika UII memberikan beberapa catatan. Disampaikan Anang Zubaidy, Mahkamah Konstitusi dinilai telah terlalu jauh melangkah menafsirkan norma, bahkan atas norma yang tidak dimohonkan pengujiannya oleh Para Pemohon.

Lebih lanjut, putusan MK mengenai SP3 kontradiktif dengan ketentuan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut KUHAP, penghentian penyidikan baru dapat dilakukan dengan alasan yang limitatif, yaitu perbuatannya bukan merupakan perbuatan pidana, tidak cukup bukti dan/atau dihentikan demi hukum. Oleh MK, ketentuan mengenai SP3 justru diberikan peluang yang lebih luas yakni hanya cukup dengan sudah terlewatinya waktu 2 (dua) tahun sejak dikeluarkannya Surat Perintah Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).

Selanjutnya adalah Putusan mengenai alih status pegawai KPK menjadi ASN. Sekilas pertimbangan dalam putusan ini memberikan ruang besar bagi pegawai KPK untuk menjadi ASN atau PPPK. Namun, kekhawatiran kami para pemohon sangat beralasan. Kami berfikir bahwa alih status ini merupakan mekanisme untuk mendelegitimasi kinerja para pegawai KPK yang terbukti berintegritas.

Sikap Sivitas Akademika UII atas Putusan

Juru Bicara/Salah Satu Pemohon Eko Riyadi, S.H., M.H. menyampaikan empat poin sikap sivitas akademika UII, atas putusan yang telah dibacakan oleh Majelis Hakim MK pada 4 Mei 2021:

1. Sejatinya revisi UU No. 30 Tahun 2002 dengan UU No. 19 Tahun 2019 bukan UU tentang Perubahan UU KPK, namun justru suatu pembentukan UU baru karena telah mengubah fungsi, postur dan arsitektur KPK secara fundamental. Perubahan ini tampak sengaja dilakukan dalam jangka waktu yang relatif singkat dengan memanfaatkan momentum yang singkat dan spesifik yakni hasil Pilpres dan Pileg telah diketahui dan kemudian mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden sehingga jelas berpengaruh secara signifikan minimnya partisipasi publik.

2. Penggunaan data pelaksanaan seminar tanpa diberikan catatan mengenai materi pembahasan seminar dan suasana yang berlangsung di dalam seminar di dalam pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi adalah tidak tepat. Majelis Hakim MK seolah menjadikan kegiatan-kegiatan dimaksud sebagai sandaran legitimasi ilmiah dalam konteks partisipasi publik tetapi sejatinya argumen dimaksud justru dapat menjatuhkan marwah lembaga pendidikan karena dijadikan justifikasi politis yang (dapat) menyesatkan.

3. Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution seharusnya mengambil peran strategis untuk menjaga spirit reformasi dengan menjaga independensi KPK dalam pemberantasan korupsi dan mengoreksi secara jernih regulasi yang mereduksi kedudukan dan independensi KPK. Hal ini justru tidak tampak dalam putusan yang telah dibacakan.

4. Pertimbangan MK yang telah mereduksi makna demonstrasi hanya sebatas pada kebebasan menyatakan pendapat jelas bertentangan dengan fungsi MK sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution), pelindung hak asasi manusia (the protector of the human rights), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights), dan pelindung demokrasi (the protector of democracy).