Aushaf Talk Limitless Women Digelar
Kepala Divisi Pembinaan Prestasi Direktorat Pembinaan Kemahasiswaan Universitas Islam Indonesia (UII), Arif Wibisono, S.E., M.Sc. membuka penyelenggaraan Aushaf Talk Limitless Women. “PIK-M Aushaf merupakan ujung tombak kami untuk menjaga kesehatan mental mahasiswa. Kami harapkan lembaga ini bisa menemani teman-teman terkait masalah psikologi selama kuliah di UII,” ujar Arif Wibisono dalam sambutannya.
Arif Wibisono mengatakan kondisi mahasiswa saat ini secara umum kurang ideal, dimana pembelajaran dilakukan secara daring. Hal ini mungkin juga dapat menyebabkan penurunan kesehatan mental mahasiswa. “Membuat mahasiswa kita kurang optimal dalam memaksimalkan potensi. Saya harap dengan acara ini akan menimbulkan semangat untuk berkarya dipayungi oleh aturan yang syari,” ungkapnya.
Sebagaimana dalam QS. Al-Hujurat: 13 yang artinya, hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu.” Ayat tersebut menjelaskan jika manusia sebetulnya memang tidak bisa hidup sendiri dan penuh oleh keanekaragaman. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan karena sama-sama diberi kemuliaan.
Sementara disampaikan dosen Psikologi UII yang juga Pembina PIK M Aushaf UII, Hazhira Qudsyi, S.Psi., M.A., kita harus memahami apa perbedaan gender dan seks. Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku (webster’s dictionary). Sedangkan seks diambil dari bahasa Inggris “sexuality” yang artinya jenis kelamin.
“Gender yang merupakan rekontruksi budaya bisa jadi turun temurun. Nilai budaya biasanya yang akan membuat ketimpangan sosial. Nilai-nilai tersebut biasanya tidak permanen, sehingga bisa direkontruksi ulang,” tegas Hazhira Qudsyi.
Hazhira Qudsyi menjelaskan, masalah gender merupakan isu yang seolah tidak lekang oleh waktu. Masalah yang timbul seperti kekerasan, marginalisasi, subordinasi, stereotip, dan beban ganda. Kekerasan tidak hanya terjadi pada perempuan, laki-laki juga bisa menjadi korban. Meski korban terbesar saat ini adalah perempuan. Selanjutnya marginalisasi atau memiskinkan perempuan, contohnya adalah peran perempuan di parlemen yang dahulu tidak ada.
Ketiga subordinasi, dimana perempuan dianggap si nomor dua yang sering sekali terjadi di jabatan. Keempat stereotip seperti ungkapan perempuan harus cantik, putih, mulus, langsing, dan lain-lain. “Dalam kasus ini yang lebih sering menjatuhkan adalah perempuan itu sendiri. Kemudian adalah beban ganda seperti pendapat yang mengharuskan seorang perempuan atau ibu seharusnya adalah di rumah,” jelas Hazhira Qudsyi.
Berdasarkan data dari UNICEF ketimpangan gender naik justru saat sekolah menengah. Hal tersebut biasanya dikarenakan faktor ekonomi. Perempuan usia SMA biasanya akan dinikahkan, dianggap akan meringankan keadaan ekonomi keluarga. Lalu, masalah lainnya adalah fasilitas kesehatan di sekolah. Saat menstruasi perempuan di beberapa wilayah negara tertentu memilih untuk tidak sekolah karena ketidaktersediaan pembalut.
Selanjutnya pada sesi pemaparan materi kedua disampaikan oleh Zhafira Aqyla, seorang Influencer dan Mahasiswi Osaka University. Ia mengatakan dalam agama Islam menuntut ilmu merupakan kewajiban baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dalam suatu hadits disebutkan jika orang yang menuntut ilmu akan dimudahkan jalannya menuju surga. “Ada seorang perempuan bernama Fatima Al Fihriyya, permata mahkota dan simbol kuat aspirasi perempuan dan pemimpin kreatif dalam sejarah Islam sebagai pendiri Universitas al-Qorawiyyin, universitas pertama di dunia,” ungkapnya.
“Sebagai perempuan muslimah kita sering dibenturkan dengan nilai kesopanan. Perempuan tidak boleh tampil di publik atau di rumah saja. Tapi sebenarnya tidak ada larangan perempuan untuk berkarya di luar. Konsep malu bukan pada manusia, tapi malu saat berbuat dosa baik dalam privasi/publik kepada Allah Swt. “Perempuan juga seringkali harus memilih, dimana stereotip perempuan menjadi ibu di rumah saja atau bekerja. Padahal perempuan adalah multitasking, kita bisa menjadi perempuan berperan sebagai ibu, berkarir, mencari ilmu, dan lainnya,” papar Zhafira Aqyla. (UAH/RS)