Pasca Reformasi, Konstitusi Indonesia Banyak Berubah
Departemen Hukum Tata Negara FH UII menyelenggarakan kuliah umum bertemakan “Hukum Tata Negara di Masa Reformasi” pada Selasa (16/3). Narasumber yang dihadirkan adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, M.H. (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia). Kuliah umum diikuti oleh lebih dari 250 peserta dan disiarkan secara live stream melalui YouTube FH UII.
Prof. Jimly memulai materinya dengan menyatakan bahwa Indonesia dalam perluasan struktur negaranya berbeda dengan negara di Eropa seperti Jerman. Indonesia lebih mendahulukan dalam membangun civil society, kemudian ormas baru membangun negara. Praktek-praktek yang berkembang di Indonesia sangat menarik jika direkonstruksi menjadi teori-teori baru.
Ia menambahkan hukum tata negara terbagi menjadi dua, yang pertama adalah hukum tata negara umum sebagai ilmu. Selanjutnya ada juga hukum tata negara positif sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia sebagaimana teks UUD 1945. Dinamika hukum tata negara di Indonesia pasca reformasi itu terbagi dua hal yakni hukum positif dan objek ilmiah.
Menurutnya, pasca reformasi, UUD 1945 berkembang pesat, dari 1.393 kata kemudian setelah diamandemen empat kali menjadi 5.915 kata. Perubahan jumlah ayatnya 300% dan jumlah kata 400% itu artinya sama saja bisa dikatakan menjadi konstitusi baru.
“Ada 174 ayat yang baru dan 25 ayat yang tidak berubah. Bila dibandingkan dengan konstitusi Amerika dengan Indonesia sesungguhnya lebih tipis konstitusi Indonesia. UUD NRI 1945 per 5 Juli tahun 1959 itu yang menjadi pegangan hingga tahun 1999”, ungkapnya.
Penjelasan di UUD 1945 baru dibuat oleh Soepomo pada Februari 1946. Hal ini dimuat di berita republik. Penjelasan itu terpisah dengan naskah UUD 1945. Tapi naskah penjelasan menjadi bagian tidak terpisah oleh Dekrit Presiden Tahun 1959.
Karena itu menjadi satu kesatuan naskah, ia berpendapat bahwa perbedaan UUD versi Agustus tahun 1945 dan versi tahun 1959 adalah adanya naskah penjelasan, yang merupakan bagian yang tidak terpisah. Naskah ini yang menjadi pegangan untuk mengadakan adendum 1, 2, 3 dan 4 pada tahun 1999-2002.
“Naskah pada saat ini masih naskah yang asli yakni UUD 1945 tetapi isinya sudah 300% berubah. Makna 300% berubah itu adalah sistem politik ketatanegaraan berubah semuanya. Banyak yang tidak menyadari dampak perubahan norma yang berjangka panjang dan perlu dijabarkan dalam peraturan-peraturan pelaksanaan mulai dari UU hingga peraturan ke bawahnya”, jelasnya.
Di akhir pemaparannya, Prof. Jimly menjelaskan perkembangan konstitusi meluas pada era modern ini. Sistem ketatanegaraan mengalami perubahan besar-besaran. Berubah dari supremasi institusi yang tidak lagi tertinggi karena semua institusi telah setara yang kemudian menjadi supremasi konstitusi. “Konstitusi harus dijadikan sebagai pegangan tertinggi sekalipun Presiden harus di bawah konstitusi. Konstitusi adalah kesepakatan tertinggi dan pegangan tertinggi untuk semua masyarakat”, pungkasnya. (FHC/ESP)