Guru Besar, Terbatas tetapi Bukan Elitis
Menjadi guru besar atau profesor tidak dapat dialami semua dosen. Dari 291.623 dosen yang terdaftar di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti, pddikti.kemdikbud.go.id, 09/03/2021) yang tersebar di 4.611 perguruan tinggi, hanya 5.364 (Sinta, sinta.ristekbrin.go.id, 09/03/2021) yang mempunyai jabatan akademik guru besar alias hanya 1,8%. Karenanya, banyak harapan publik digantungkan kepada pemegang jabatan akademik ini.
Pengawal pengembangan ilmu pengetahuan
Meski dari sisi cacah, guru besar adalah kalangan terbatas, namun tidak boleh bersikap elitis. Guru besar tidak lantas merasa berhak mengasingkan diri dan hidup di menara gading, tetapi justru sebaliknya, harus tetap membumi dan terlibat dalam banyak aktivitas akademik dan pemecahan masalah nyata di lapangan. Guru besar adalah pengawal pengembangan ilmu pengetahuan yang relevan dengan zaman. Ini adalah syarat penting kemajuan sebuah peradaban manusia.
Bukti sejarah masa lalu di kalangan muslim pada tahun 800an sampai 1500an dapat dirujuk ulang dan menjadi basis. Tahun 1100an, dipercaya sebagai awal kemunduran peradaban Islam. Apa yang terjadi saat itu? Pengembangan ilmu pengetahuan menurun drastis. Ada banyak teori yang menjelaskan, mulai dari krisis ekonomi di Iran pada saat itu yang menjadikan para ilmuwan tidak lagi mempunyai dana penelitian yang cukup, umat yang bertumbuh membutuhkan semakin banyak energi untuk melayani, sampai dengan mulai populernya sufisme dan naiknya para pemimpin agama yang menyisakan sedikit perhatian untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Jika ada yang berpendapat bahwa umat Islam mundur karena meninggalkan agama dan kita sepakat, maka ruang lingkup agama perlu diperluas. Mengembangkan ilmu pengetahuan adalah juga perintah agama. Ilmu pengetahuan mendapatkan posisi yang mulia dalam ajaran Islam. Bukankah wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad saw. adalah perintah “membaca” secara berulang?
Memang, kadang terdengar seloroh, jabatan guru besar menjadi semacam tiket menduduki beragam jabatan, baik di dalam maupun di luar perguruan tinggi. Dan, sebaliknya, bahkan ada cibiran di ruang-ruang tertutup, terhadap guru besar yang mendedikasikan dirinya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan menghabiskan waktunya di laboratorium.
Publik Indonesia memang unik. Sulit mencari sesuatu yang dilakukan orang lain, yang tidak bisa menjadi bahan gunjingan. Namun, kita bisa ambil sisi positifnya. Bisa jadi, komentar seloroh atau bahkan cibiran tersebut adalah bentuk kepedulian yang jika keduanya digabung menjadi pesan moral yang bergizi.
Seorang guru besar jangan sampai lupa dengan tugas utamanya dalam pengembangan ilmu, tetapi ilmunya pun harus diajarkan dan disebarkan kepada publik. Jabatan apapun yang diembannya jangan sampai menjadi alasan untuk berhenti mengembangkan diri, meneliti, dan menulis. Saya juga mengharapkan para guru besar memperluas bacaan untuk memperkaya perspektif terkait dengan konteks.
Meluruskan niat
Memang bisa jadi terasa indah dan melegakan ketika nama kita muncul di sebuah publikasi, tetapi bukan itu esensi publikasi. Publikasi dalam beragam bentuknya adalah ikhtiar kita untuk berkontribusi ke dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Niat harus diluruskan. Lainnya, bahkan termasuk keterpenuhan syarat menjadi guru besar atau beragam insentif lainnya. hanya merupakan efek samping dan bukan tujuan. Karenanya, akan sangat baik jika insentif yang ada meskipun kecil dilihat sebagai sebuah “ultra petita”, pengabulan permohonan yang melebihi tuntutan awal.
Di lapangan, tidak sulit untuk membedakan kedua sisi ekstrem ini. Jika ada karya seorang kolega yang terbit di jurnal bergengsi, apa yang terjadi selanjutnya: ungkapan “selamat, insentif sudah bisa diajukan” atau sebuah diskusi ilmiah terkait dengan konten publikasi tersebut. Karenanya, saya personal sangat senang dengan beragam acara bedah buku yang dihasilkan oleh pada dosen di UII. Dengan cara inilah, ketika gagasan bernas didiskusikan di ruang publik, iklim akademik bisa terbangun dengan baik.
Bisa jadi perspektif yang saya usung ini tidak jamak dan bahkan ada yang meragukan atau bahkan mencibir, tetapi semoga itu bukan pertanda bahwa perspektif ini tidak valid. Keteguhan dalam berpendapat yang didasari nilai luhur diperlukan di situasi ketika kebenaran seringkali diukur dengan popularitas dan diikuti banyak orang.
Ada kalanya, para guru besar berani mulai menapaki jalan sunyi yang tidak banyak orang berpikirian serupa. Sekali lagi, tidak selalu mudah dan bebas risiko, tetapi bukankah bola salju yang besar selalu berawal dari kepal salju yang kecil?
Menjadi pemikir mandiri
Karenanya, seorang guru besar sudah saatnya meneguhkan diri menjadi pemikir mandiri dengan referensi yang kaya dan argumen kuat, serta tidak lagi terbawa arus narasi publik. Keteguhan ini menjadi semakin penting di era paskakebenaran ketika opini sarat kepentingan lebih dikedepankan dibandingkan fakta.
Narasi alternatif untuk meluruskan yang bengkok dan melengkapi perspektif, sangat ditunggu lahir dari para guru besar. Saya yakin, komunitas akademik dan bahkan publik bersepakat untuk ini.
Jika ini yang dilakukan, maka, para guru besar tidak lagi membangun argumen hanya untuk kepentingan diri sendiri atau kepentingan sesaat. Sampai level tertentu, bisa jadi semangat altruisme, berkorban untuk orang lain dan institusi, diharapkan melekat pada para guru besar. Inilah saatnya mengasah kebahagiaan ketika mampu memberi, dan tidak lagi terlalu menikmati suka ketika menerima.
Pesan-pesan di atas tidak hanya valid bagi guru besar baru, tetapi untuk semua guru besar, termasuk saya 🙂 Bahkan, pesan-pesan ini pun relevan untuk semua dosen. Tantangan berat yang mungkin dihadapi tidak lantas menjadikan pesan-pesan tersebut tidak valid. Ruang diskusi tentu tetap terbuka.
Pesan titipan
Izinkan saya menitipkan beberapa permintaan atas nama UII. Pertama, mohon bantuannya untuk mendorong dan membesarkan UII dalam rel moral dan akademik dengan standar tinggi. Isu ini menjadi penting ketika kita dengar ada kabar bahwa dosen atau peneliti yang menjadikan jabatan akademik guru besar menjadi tujuan dan bahkan mengabaikan etika untuk mendapatkannya.
Kedua, mohon bantuan dalam mendampingi para dosen yang lebih muda secara akademik. Saya memilih menggunakan pendampingan untuk menjaga semangat kolegial. Di kampus, teori manajemen sumber daya konvensional tidak selalu relevan, karena atasan atau bawahan hanya merupakan pembagian peran dalam bingkai waktu tertentu. Tidak perlu terlalu bangga menjadi atasan, karena di pasar tradisional, atasan diobral Rp100.000 untuk tiga biji 🙂
Kaitannya dengan ini, nilai yang dipegang oleh Pak Artidjo Alkostar Allahu yarhamhu ketika dengan dedikasi tinggi tetap mengajar meski dengan setumpuk kesibukan di Jakarta. dapat menjadi teladan. Konsistensi Pak Ar dibingkai dengan nilai “Ini adalah hutang sejarah terhadap UII yang harus dibayar lunas”.
Terakhir tapi bukan afkir. Di belakang suami yang hebat, dapat dipastikan ada istri sebagai pendamping yang lebih hebat. Saya percaya, ikhtiar dan doa suami istri ibarat bejana berhubungan yang saling menyeimbangkan. Kita tidak tahu, bisa jadi ikhtiar Prof. Noor Cholis Idham, menjadi mudah karena doa istri yang dipanjatkan tak lelah sehabis salat dan ketika sebagian besar orang terlelap. Kita juga tidak bisa memastikan dari mulut mana doa dikabulkan. Atau bisa jadi dedikasi istri dalam mengurus dan mendidik anak-anak, menjadikan suami mempunyai waktu dan energi yang lebih longgar. Karenanya, saya titip satu pesan tambahan: jangan lupa berterima kasih kepada istri dan anak-anak.
Sambutan dalam penyerahan SK Guru Besar Prof. Noor Cholis Idham, pada 9 Maret 2021